Sosialisasi Pemberdayaan Ibu Rumah Tangga, Pelabuhan Lembar, Lombok Barat, Desember 2008




Kegiatan ini diikuti oleh Dinas Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat, Aparat Pelabuhan Lembar, Unsur-Unsur PKK, Dharma Wanita, Ikatan Keluarga Bidan Indonesia, Kepala Dusun di seluruh Kecamatan Lembar, Para Penyuluh Kesehatan Lombok Barat, Persatuan Kartika Chandra Kirana, Ikatan Istri Karyawan PT. ASDP Lembar, Organisasi Bhayangkari Lombok Barat, dan organisasi wanita lainnya yang ada di Kabupaten Lombok Barat.

Berlangsung pada tanggal 20 Desember 2008 di Pelabuhan Lembar, Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, kegiatan ini ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat, khususnya ibu rumah tangga di Kabupaten Lombok Barat mengenai bahaya dan risiko penularan virus flu burung (H5N1) secara sederhana tanpa menimbulkan kepanikan.

Nusa Tenggara Barat merupakan daerah yang telah beberapa tahun terakhir tidak pernah terjangkiti oleh virus flu burung pada manusia, selain itu juga NTB merupakan daerah kasus Low Incidents, yang hanya memiliki jumlah kasus sedikit pada unggas. Acara sosialisasi flu burung ini dilakukan di Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok Barat, tepatnya di wilayah pelabuhan Lembar. Pelabuhan Lembar ini merupakan jalur distribusi utama yang mengantarkan serta menerima kapal laut yang berasal dari Pulau Bali, Pulau Sulawesi, dan Jawa Timur. Posisinya yang strategis dan merupakan pintu keluar masuknya arus migrasi masyarakat beserta barang termasuk unggas menunjukkan faktor risiko yang besar terhadap penyebaran virus flu burung.

Acara sosialisasi ini dihadiri oleh sekitar 200 peserta, yang juga dihadiri oleh Kepala Kecamatan Lembar dan para Kepala Dusun di Kecamatan Lembar. Sosialisasi ini diharapkan dapat dilanjutkan dan dikembangkan sendiri oleh seluruh peserta yang telah hadir. Dengan begitu Nusa Tenggara Barat bisa terus mempertahankan kondisinya yang merupakan daerah kasus Low Incidents, yang memiliki jumlah kasus rendah pada hewan.

Militer Keluar Barak Cegah Pandemi


Jakarta, 16 Desember 2008 – Tentara dan sipil bekerjasama untuk pertama kalinya dalam melaksanakan simulasi episenter pandemi dalam rangka kesiapsiagaan menghadapi situasi terburuk apabila virus flu burung bermutasi menjadi virus mematikan yang mudah menular antar manusia. Simulasi yang melibatkan sekitar lebih dari 200 personil yang terdiri dari Kesehatan Daerah Militer Jakarta Raya (Kesdam Jaya), Komando Strategis Nasional (Kostrad), Komando Daerah Militer wilayah Senen (Koramil Senen), Batalyon Kavaleri TNI Angkatan Darat (YonKav TNI AD) ditambah dengan ahli dari kelompok masyarakat sipil yang berasal dari Sekretariat Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Influenza (KOMNAS FBPI) bersama dengan Direktorat Kesehatan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (Dirkes TNI AD) dan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta melaksanakan Simulasi Episenter Pandemi. Latihan kesiapsiagaan menghadapi dan merespon episenter pandemi influenza sehari tersebut berlokasi di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto dan Asrama Batalyon Perbekalan Angkutan-3/ Darat di Jakarta Pusat.

What Is The Fate And Effects Of Influenza Drug Tamiflu In Environment?

http://www.sciencedaily.com/releases/2008/11/081126163722.htm

ScienceDaily (Nov. 26, 2008)
The research council FORMAS, Sweden, has granted 5.9 million SEK to a
new research project that will study the environmental fate and effects
of the anti-viral drug Tamiflu on the development on influenza
resistance.

Tamiflu is being stockpiled all over the world for use in fighting
the next influenza pandemic. However, there are growing signs that
influenza viruses may develop resistance to this vital pharmaceutical,
because it is routinely prescribed for seasonal influenza.

This research project is interdisciplinary and will combine studies
on the environmental fate of the drug with in vivo studies of the
development of Tamiflu resistant viruses say the project leader Björn
Olsen at the Department of Medical Sciences Uppsala University.

This research project presents an innovative approach to studying
the development of Tamiflu resistance in influenza viruses caused by
environmental contamination which is a potential threat to one of our
few defences against a future influenza pandemic.

Scientists from Uppsala University, Umeå University and Karolinska
Institute will investigate the potential problem from an environmental
chemical, virological and infectious diseases aspect.

A wide range of topics will be addressed; studies of the degradation
of Tamiflu in sewage treatment plants will be combined with screening
of the environmental levels in surface water in Japan. Japan is one of
the world's top-per-capita consumers of Tamiflu and it has been
estimated that approximately 40% of those that are infected by
influenza viruses are treated with Tamiflu. This makes Japan one of the
"Hot Spots" in the world and the research project has established
collaboration with scientists at Kyoto University and several field
sampling campaigns in Japan has been scheduled. Detected environmental
levels will then be used in an in vivo Mallard infection model for
detailed studies on the development of Tamiflu resistance in low
pathogenic avian viruses. This will be combined with a screening study
of the occurrence of resistant viruses in faecal samples from wild
ducks in the vicinity of Japanese sewage treatment plants.

The full title of the project is "Occurrence and fate of the
antiviral drug Oseltamivir in aquatic environments and the effect on
resistance development in influenza A viruses." and the applicants are
Björn Olsen, Dept. of Medicinal Sciences, Uppsala University, Åke
Lundkvist, Dept. of Microbiology Tumour and Cellbiology, Karolinska
Institute, Johan Lennerstrand, Dept. of Medicinal Sciences, Uppsala
University and Hanna Söderström and Jerker Fick, Dept of Chemistry,
Umeå University

Adapted from materials provided by Uppsala University, via EurekAlert!, a service of AAAS.

Komunitas Indozoone untuk One World One Health

Di akhir Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS) Komnas FBPI pada 25 November 2008 yang lalu, diluncurkan suatu jaringan komunitas baru yang disebut “INDOZOONE” (Indonesia Zoonotic Network). Komunitas ini terdiri dari para pemerhati yang sangat peduli terhadap masalah penyakit menular zoonosis yang saat ini menjadi masalah serius di Indonesia dan dunia (Avian Influenza, Rabies, Anthrax, dsb.), sekaligus juga terhadap masalah (new) emerging and re-emerging zoonotic diseases.

Melalui komunitas ini diharapkan terjalin suatu komunikasi yang intensif dalam mencari solusi terhadap permasalahan tersebut sehingga terdapat suatu kesamaan pemahaman terhadap:
  • Definisi dari emerging and re-emerging zoonotic disease.
  • Dinamika dari emerging and reemerging infectious diseases.
  • Perbedaan level pelayanan kesehatan masyarakat (manusia, hewan, lingkungan) dan bagaimana interaksi yang terjadi diantara mereka.
  • Kewenangan dan peran dari kesehatan masyarakat (manusia, hewan, lingkungan) terhadap masalah emerging infectious disease.
  • Keterkaitan prinsip dan legalitas yang eksis di antara pemangku otoritas kesehatan dan kesehatan hewan dalam menangani masalah kesehatan masyarakat terkait emerging infectious disease situation.
  • Keterpaduan dalam menangani masalah kesehatan masyarakat yang terkait dengan penyakit zoonosis (one world, one health concept or integrated health system).

Berikut adalah pernyataan yang dikutip dari beberapa sumber:
  • Despite modern medical technology, emerging and reemerging infections are and will most likely continue to appear on the scene.
  • Fighting emerging infectious diseases is a multijurisdictional, multi-agency task.
  • Time honored methods such as isolation and quarantine in conjunction with many other public health functions such as surveillance will be vital in the fight against emerging infectious diseases.
  • One world, one health, one medicine system should be implemented.
  • The astute primary care physician and veterinarian are in the front lines against infectious diseases.
  • The public health community will depend on accurate and timely reporting of suspicious diseases or conditions.
  • The collaboration of public health officials (primary care physicians and veterinarian) is a vital relationship in the fight against infectious diseases.

Untuk bergabung di milis sini, silakan mengirimkan email kosong ke: Indozoone-subscribe@yahoogroups.com

Masks, Hand Washing, Prevent Spread Of Flu-like Symptoms By Up To 50 Percent

ScienceDaily (2008-10-28) -- Wearing masks and using alcohol-based hand sanitizers may prevent the spread of flu symptoms by as much as 50 percent, a new study suggests

Masks, Hand Washing, Prevent Spread Of Flu-like Symptoms By Up To 50 Percent

ScienceDaily (Oct. 28, 2008) — Wearing masks and using alcohol-based hand sanitizers may prevent the spread of flu symptoms by as much as 50 percent, a landmark new study suggests.

In a first-of-its-kind look at the efficacy of non-pharmaceutical interventions in controlling the spread of the flu virus in a community setting, researchers at the University of Michigan School of Public Health studied more than 1,000 student subjects from seven U-M residence halls during last year's flu season.

"The first-year results (2006-2007) indicate that mask use and alcohol-based hand sanitizer help reduce influenza- like illness rates, ranging from 10 to 50 percent over the study period," said Allison Aiello, co-principal investigator and assistant professor of epidemiology at the U-M SPH. Dr. Arnold Monto, professor of epidemiology, is also a principal investigator of the study.

Aiello stressed the first year of the two-year project, called M-Flu, was a very mild flu season and only a few cases were positive for flu, so results should be interpreted cautiously. Ongoing studies will test for other viruses that may be responsible for the influenza-like illness symptoms observed, she said.

"Nevertheless, these initial results are encouraging since masks and hand hygiene may be effective for preventing a range of respiratory illnesses," Aiello said.

The findings, "Mask Use Reduces Seasonal Influenza-like Illness In The Community Setting," was presented Sunday at The Interscience Conference on Antimicrobial Agents and Chemotherapy and the Infectious Diseases Society of America annual meeting in Washington, D.C.

At the start of flu season in the last two years, participants were randomly assigned to six weeks of wearing a standard medical procedure mask alone, mask use and hand sanitizer use, or a control group with no intervention. Researchers followed students for incidence of influenza like illness symptoms, defined as cough with at least one other characteristic symptom such as fever, chills or body aches, Monto said.

From the third week on, both the mask only and mask/hand sanitizer interventions showed a significant or nearly significant reduction in the rate of influenza-like illness symptoms in comparison to the control group. The observed reduction in rate of flu-like symptoms remained even after adjusting for gender, race/ethnicity, hand washing practices, sleep quality, and flu vaccination.

Non-pharmaceutical interventions such as hand washing and masks---especially in a pandemic flu outbreak---are critical to study because pharmaceutical interventions such as vaccinations and antivirals may not be available in sufficient quantity for preventing and controlling pandemic influenza outbreaks.

In February 2007, the Centers for Disease Control and Prevention and the U.S. Department of Health and Human Services in collaboration with other federal agencies, education, businesses, healthcare and private sectors developed an interim planning guide on the use of Non-Pharmaceutical Interventions (NPIs) to mitigate an influenza pandemic.

The measures include voluntary home quarantine, isolation and treatment of cases, social distancing, personal protection such as face masks and hand hygiene, and school dismissal.

"Although a few of these measures can be evaluated during seasonal influenza outbreaks, many are difficult or impossible to evaluate in advance of a pandemic," Monto said. "However, use of face masks and hand hygiene interventions can be evaluated now, during seasonal influenza outbreaks, which can provide concrete evidence for decision makers."

Further studies are needed to confirm whether mask use may be an effective means of reducing influenza in shared living settings. Since it was not possible to blind subjects, knowledge of the intervention may have influenced influenza-like symptom reporting and therefore the results of this study should be interpreted with caution, Aiello said.

"During year two of the study (2007-2008) a major outbreak of influenza took place," Aiello said. "Forthcoming studies will examine whether results observed during this more severe outbreak mirror those observed during the milder year one influenza season. Influenza virus identification will also be examined as an additional outcome."

The M-Flu study is a collaboration between SPH, U-M Housing, and University of Michigan Heath Services. The study was funded by Centers for Disease Control and Prevention.

Co-authors include: Genevra Murray, PhD; Rebecca Coulborn, BS; Anne-Michelle Noone, all of the U-M SPH Department of Epidemiology.
Adapted from materials provided by University of Michigan.

University of Michigan (2008, October 28). Masks, Hand Washing, Prevent Spread Of Flu-like Symptoms By Up To 50 Percent. ScienceDaily. Retrieved November 3, 2008, from http://www.sciencedaily.com­ /releases/2008/10/081027155907.htm

The 6th International Ministerial Conference, Egypt






Press Conference: The 6th International Ministerial Conference on Avian and Pandemic Influenza, 24-26 October 2008, Sharm El Sheikh, Mesir

…. we must always remember that anytime AI can attack the wall-street, the main street, and places without any streets. (Vice DG WHO, Sharm El Sheikh, Egypt – October 2008)

Konferensi Tingkat Menteri ke VI mengenai Flu Burung dan Pandemi Influenza yang dilaksanakan di Sharm El Sheikh, Mesir pada tanggal 24-26 Oktober 2008 merupakan lanjutan dari pertemuan di New Delhi tahun 2007 yang mencetuskan konsep One World One Health System (OHS) atau Sistem Satu Kesehatan.  Konsep ini merupakan pendekatan yang dipakai dalam penanganan flu burung dan juga emerging and reemerging infectious disease (EID) lainnya.

Pokok-pokok hasil:
  • Konferensi mengingatkan dunia bahwa meskipun keberhasilan pengendalian AI telah ditunjukkan di berbagai negara –termasuk di Indonesia, Mesir dan Vietnam yang dinilai sebagai korban flu burung yang paling berat– namun HPAI masih merupakan ancaman yang serius dan nyata.  HPAI telah diketahui mampu menulari 50 spesies unggas dan 10 spesies mamalia –termasuk manusia.  Yang perlu diingat adalah bahwa setiap 1 orang tertular  AI diduga terdapat 1 juta ekor unggas yang juga tertular.
  • Data Konfirm dan Meninggal Akibat AI – Dunia dan Indonesia, 2004-2008:
Dunia 2004 2005 2006 2007 2008*   
-- Konfirm 46 98 115 88 36   
-- Meninggal 32 43 79 59 28   

Indonesia   
-- Konfirm 0 20 55 42 20   
-- Meninggal 0 13 45 37 17  

*Dunia : s/d September 2008; Indonesia : s/d Oktober 2008 Untuk Indonesia,  Juni, Agustus, September, dan Oktober tidak ada kasus
  • Melalui pernyataan Mesir sebagai tuan rumah dalam penutupan, konferensi menghormati proses yang telah berjalan dalam berbagai bidang termasuk pembahasan-pembahasan yang dilakukan pada Inter Governmental Meeting (IGM) di WHO.
  • Konferensi kemudian juga menerima usul Indonesia agar kerjasama internasional harus juga difokuskan pada peningkatkan kapasitas produksi vaksin dan kebutuhan medis lain diberbagai negara.  Merskipun dunia telah mampu meningkatkan kemampuan produksi vaksin hingga 100% dalam 2 tahun terakhir, namun jumlah kapasitas yang tersedia masih kurang dari 25% kebutuhan vaksin pada situasi pandemi.
  • Usul Indonesia mengenai perlunya penambahan pusat kerjasama WHO untuk penyakit menular juga diterima, terutama karena selama 40 tahun terakhir WHO-Collaborating Center untuk influenza hanya ada di 4 negara.
  • Konferensi kembali menekankan apa yang telah dinyatakan di India tahun 2007 bahwa AI telah menegaskan sangat urgen-nya perhatian yang lebih besar diberikan pada penyakit-penyakit mengancam jiwa manusia yang bersumber dari hewan.  Diidentifikasi bahwa semakin banyak (lebih dari 70%) penyakit utama yang mengganggu kesehatan masyarakat saat ini dan dimasa yang akan datang yang berasal dari hewan, seperti antara lain HIV/AIDS, SARS, AI, Nipah, Rabies, BSE, West Nile, Ebola, Rift Valley Fever.  Jumlah penyakit yang berasal dari hewan meningkat –diperkirakan ada tambahan 1 potensi penyakit zoonosis baru tiap tahun– terutama karena intensitas interaksi antara manusia – hewan meningkat serta karena perdagangan hewan dan produk hewan telah sangat sangat intensif di seluruh dunia.
  • Di masa yang akan datang, penyakit yang berasal dari hewan dapat berbentuk penyakit lama yang terjadi lagi atau penyakit baru yang belum ditemukan sebelumnya (emerging and re-emerging infectious disease / EID).  Oleh sebab itu, penerapan konsep “satu dunia satu kesehatan” (one world one health concept/OWOH atau one-health system/OHS) semakin mendesak untuk menjawab EID.  Yang dimaksud dengan OHS adalah “usaha bersama antar berbagai disiplin ilmu yang bekerja pada tingkat lokal, nasional, dan global untuk menjaga kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan secara optimal” (the collaborative effort of multiple disciplines working locally, nationally, and globally to attain optimal health for people, animals, and our environment).  Atau dalam bahasa yang lebih sederhana “penanganan kesehatan pada manusia dan hewan” (managing health on human-animal interface).  Konferensi mengusulkan agar OHS difokuskan pada emerging and re-emerging infectious diseases at the animal-human-ecosystems interface with epidemic and pandemic potential causing wide ranging impacts.  Kegiatan-kegiatan utama dalam penerapan OHS adalah surveillance & disease intelligence at three health domains (animal, human and environment), integrated biosecurity, socio-economics anticipation and respons, sommunications strategies at different levels, private-public partnership and monitoring and evaluation.  Hal yang juga dinilai kritikal adalah bagaimana lembaga-lembaga pendidikan –khususnya Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Hewan serta Fakultas Kesehatan Masyarakt/ Kesehatan Lingkungan dapat berkolaborasi dalam mengembangan basis keilmuan yang lebih solid mengenai hal ini.  Diperhitungkan aplikasi OHS ini akan membutuhkan dana $850 juta / tahun jika hanya dikonsentrasikan pada 43 negara beresiko tinggi, dan mencapai $1,3 milyar / tahun jika dilaksanakan di 139 negara yang berisiko tinggi dan sedang.
  • Namun demikian, di tengah dorongan dari kalangan akademisi, lembaga internasional, dan negara-negara yang telah menjadi korban AI, pembiayaan internasional untuk penanganan AI masih mengalami defisit.  Meskipun jumlah komitme donor bagi pembiayaan penanganan AI telah mencapai US$ 2,7 milyar, antara 2006-2008 defisit pembiayaan penanganan AI mencapai US$ 1,2 milyar, dimana $325 juta diantaranya diidentifikasi sebagai defisit pelaksanaan program di lembaga-lembaga internasional utama.  Jumlah negara dan lembaga yang melakukan pembiayaan internasional bagi penanganan AI juga menurun dari 35 negara/organisasi pada konferensi Beijing, 17 di pertemuan Bamako, dan 9 di New Delhi.  Namun demikian, di tengah defisit tersebut, jumlah dan yang sudah dicairkan juga hanya mencapai 73%.  Di Mesir jumlah negara dan lembaga yang menyediakan pembiayaan internasional menurun lagi menjadi hanya 6 dengan pledging  sebesar US$ 350,3 juta, sehingga total dana yang telah dialokasikan untuk penangana AI secara global mencapai US$ 3,06 milyar.  Lebih dari 60% dari pembiayaan dilakukan melalui lembaga internasional dan hanya 40% yang dilakukan dalam bentuk kerjasama dengan negara sasaran.
  • Konferensi ditutup dengan dua agenda tindak lanjut utama, yaitu pembahasan lebih lanjut mengenai OWOH/OHS di Canada awal tahun 2009 dan penyelenggaraan konferensi berikutnya –kemungkinan di Vietnam– akhir tahun 2009, dimana Indonesia akan mengusahakan untuk menawarkan dua hal yaitu konsep Desa Siaga sebagai bentuk kongkret OHS di tingkat pedesaan dan konsep lengkap ASEAN Pandemic Preparedness Plan and Response yang dikoordinasikan Indonesia sebagai bentuk penanganan kesiap-siagaan pandemi antar negara di tingkat regional.
Kairo, 28 Oktober 2008

www.komnasfbpi.go.id
komunikasi.fbpi@gmail.com
Tel. 021 - 3854227
Faks. 021- 3858974

New Vaccine Element Could Generate Better Protection From Avian Influenza

ScienceDaily (Sep. 18, 2008) — Current vaccines for influenza provide protection against specific seasonal influenza A strains and their close relatives, but not against more distant seasonal influenza A viruses and new avian influenza A viruses, such as H5N1, which still poses a real global health concern.

However, a team of researchers led by Tao Dong and Andrew McMichael, at Oxford University, United Kingdom, has now generated data that suggest adding a new component to vaccines for influenza might enable them to confer protection against a broad range of avian and seasonal influenza A viruses. In an accompanying commentary, Peter Doherty and Anne Kelso discuss in more detail how the data generated in this paper might be translated into a new and improved vaccine.

In the study, subsets of immune cells known as memory CD4+ and memory CD8+ T cells from individuals from the United Kingdom and Viet Nam were found to respond to fragments of proteins from both a seasonal influenza A strain and a strain of H5N1. Nearly all people tested had cells that cross-reacted between the seasonal influenza A strain and H5N1.

The authors therefore suggest that adding fragments of influenza proteins to current vaccines for influenza might boost memory CD4+ and memory CD8+ T cell responses towards both seasonal and avian influenza viruses, providing broad protection.

Journal references:

1. Lee et al. Memory T cells established by seasonal human influenza A infection cross-react with avian influenza A (H5N1) in healthy individuals. Journal of Clinical Investigation, 2008; DOI: 10.1172/JCI32460
2. Peter C. Doherty and Anne Kelso. Toward a broadly protective influenza vaccine. Journal of Clinical Investigation, 2008; DOI: 10.1172/JCI37232

Adapted from materials provided by Journal of Clinical Investigation, via EurekAlert!, a service of AAAS.

Magelang Tanggap Flu Burung



Akhir bulan Agustus 2008 Komnas FBPI menyelenggarakan sosialisasi pemberdayaan dan pelibatan ibu rumah tangga di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Dalam kesempatan ini, Komnas FBPI menyelenggarakan dua kegiatan sosialisasi, yaitu sosialisasi seminar, dengan menggunakan bentuk dialog dan presentasi materi oleh nara sumber kepada peserta. Dalam hal ini, narasumber yang diikutsertakan adalah Staf Pengajar dari Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Bentuk lainnya yaitu sosialisasi langsung, dengan memberikan advokasi kepada para pelaksana teknis kegiatan penanganan dan penanggulangan flu burung khususnya di Kabupaten Magelang dan sekitarnya. Dilanjutkan dengan mengunjungi langsung ke rumah – rumah penduduk dan menyampaikan secara langsung informasi – informasi serta dibarengi upaya – upaya nyata pencegahan flu burung. Dalam hal ini, tim Participatory Disease Surveillance and Response (PDSR) Kabupaten Magelang dan mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan UGM bersama – sama melaksanakan surveillans, disinfeksi, vaksinasi, dan sosialisasi door – to – door ke tiap rumah – rumah penduduk.

Gerakan Serempak Tanggap Flu Burung







Pada hari Minggu, tanggal 24 Agustus 2008 lalu, Tim Penanggulangan Flu Burung (TPFB) Pimpinan Pusat Muhammadiyah didukung oleh Komnas FBPI menyelenggarakan "Gerakan Serempak Tanggap Flu Burung" yang diselenggarakan di 9 propinsi yaitu:
  1. DKI Jakarta
  2. DI Yogyakarta
  3. Sumatera Utara
  4. Lampung
  5. Banten
  6. Jawa Barat
  7. Jawa Tengah
  8. Jawa Timur
  9. Bali

Kegiatan ini melibatkan 10.000 peserta yang tersebar di 9 propinsi terdiri dari: masyarakat umum, warga Muhammadiyah dan Relawan Desa TPFB Muhammadiyah bertempat di masing - masing Pimpinan Wilayah Muhammadiyah setempat dimana pucaknya dilaksanakan di PP Muhammadiyah Menteng Jakarta Pusat yang dihadiri oleh Dirjen P2PL Depkes dan Dirjen Peternakan Deptan serta Ketua Pelaksana Harian Komnas FBPI.

Rangkaian acara yang dilaksanakan antara lain:
  1. Jalan sehat. Menempuh jalur Monas (Jl. Merdeka Utara) sampai Tugu Tani (Menteng - Jakarta Pusat)
  2. Peresmian "Laskar Flu Burung TPFB Muhammadiyah"
  3. Lomba Mewarnai Anak, Lomba Memasak Ibu dan Gerakan Disinfektan

Batamku Tanggap Flu Burung


Komunitas sepeda ’Bike-to-work’ dan organisasi lingkungan hidup Octopus yang didukung oleh KOMNAS FBPI melakukan gerakan Tanggap Flu Burung di Pulau Batam, 9-10 Agustus 2008.

Walikota Batam Drs. H. Ahmad Dahlan memberikan apresiasi yang tinggi dan pada pelaksanaan kegiatan ini dan memberikan dukungan penuh melalui Dinas Kelautan, Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Batam.

Walikota menyatakan bahwa walaupun Batam belum ada kasus pada manusia, Pemerintah Kota mendukung upaya pengendalian Flu Burung yang dilakukan oleh masyarakat dan organisasi kemasyarakatan lainnya.

Gerakan ini diawali dengan media visit ke Radio Hang FM Batam yang kemudian dilanjutkan dengan sosialisasi pelibatan ibu-ibu rumah tangga dalam penanggulangan Flu Burung. Menariknya dalam sosialisasi ini juga diisi pembuatan pupuk kompos yang benar oleh organisasi lingkungan hidup Octopus.

Ratusan Komunitas sepeda ’Bike-to-work’ melakukan kampanye pengendalian Flu Burung mengelilingi Batam. KOMNAS FBPI akan terus mendukung dan melanjutkan program-program serupa dengan fokus komunikasi dan pelibatan masyarakat yang secara efektif mampu mengendalikan penyebaran Flu Burung.

Komnas FBPI Menyelenggarakan Pertemuan Pertama Kelompok Kerja Kesiapsiagaan Pandemi Tingkat ASEAN



Negara-negara anggota ASEAN (Association of South East Asian Nation) bertemu untuk pertama kalinya di Indonesia untuk merumuskan kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemi, serta upaya untuk mengontrol penyebaran penyakit menular. Pertemuan yang dilaksanakan tiga hari ini bertempat di Hotel Grand Angkasa, Medan, Sumatera Utara.

Penyebaran virus flu burung H5N1 telah meningkatkan kekhawatiran dunia  dalam beberapa tahun belakangan kareana berpotensi menimbulkan pandemi. Banyaknya kasus flu burung di Asia membuat para ahli khawatir jika virus tersebut bermutasi dan dengan mudah menyebar dari manusia ke manusia.

Para anggota delegasi sepakat bahwa dibutuhkan kerjasama dengan berbagai sektor lainnya, termasuk swasta, disamping sektor kesehatan. Negara-negara ASEAN membahas tema-tema penting seperti kebutuhan untuk memiliki struktur yang kuat dan koordinasi yang mampu merespon situasi darurat atau pandemi.

Pertemuan teknis tersebut merupakan upaya dari negara anggota ASEAN untuk mengontrol penyebaran penyakit menular.

Cirebon Tanggap Flu Burung






10.000 siswa siswi SD, SMP, dan SMU se-Kota Cirebon bersama seluruh Kepala Sekolah, Guru, dan Muspida Kota Cirebon bersama - sama mendeklarasikan PERANG MELAWAN FLU BURUNG.

Acara yang dibuka oleh Wakil Walikota Cirebon ini bertujuan untuk meningkatkan komitmen Pemerintah Daerah khususnya Kota Cirebon untuk berupaya semaksimal mungkin dalam pengendalian flu burung dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza.

Selain itu, kegiatan ini bertujuan untuk mengajak seluruh siswa siswi Kota Cirebon untuk bersama - sama mencegah flu burung dan berperan dalam penyebaran informasi serta sosialisasi ke lingkungannya masing - masing.

Pemberdayaan Ibu Rumah Tangga di Serang Banten






Pada bulan Juli 2008, Komnas FBPI melakukan pemberdayaan ibu rumah tangga di Desa Cipocok Jaya, Kabupaten Serang, Banten. Acara yang berlangsung selama dua minggu ini mencapai puncaknya pada tanggal 12 Juli 2008.

Tujuan kegiatan ini adalah untuk membangun kesadaran dan peran serta ibu rumah tangga dalam upaya pengendalian flu burung dan kesiapsiagaan mereka menghadapi pandemi influenza.

Acara yang diikuti oleh 150 ibu rumah tangga ini menghasilkan aksi nyata yaitu tersusunnya jadwal rutin gotong royong untuk kebersihan lingkungan pencegahan flu burung.

Kegiatan ini dapat anda lakukan di lingkungan anda, peran serta kita bersama dapat mencegah keluarga anda dari bahaya flu burung. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Habibie Yukezain, staf komunikasi Komnas FBPI (h_yukezain@yahoo.com atau 0818940627).

Komnas FBPI di Pameran Industri Peternakan Indonesia





Pada Bulan Juni - Juli 2008, Bidang Komunikasi Komnas FBPI ikut serta pada Pameran Industri Peternakan Nasional "Indolivestock 2008" di Balai Sidang Senayan Jakarta.

Pameran yang diikuti oleh semua perusahaan pakan ternak, bibit, vaksin, dan sebagainya diselenggarakan selama tiga hari dari 1 - 3 Juli 2008.

Pada kesempatan ini, Komnas FBPI membuat ruang pameran dengan menampilkan pesan - pesan pencegahan flu burung, seluk beluk mengenai penyakit flu burung dan pandemi influenza, serta membagikan media komunikasi, informasi dan edukasi lainnya.

Sosialisasi Bulan Mei 2008

Di bulan Mei 2008, Komnas FBPI mencanangkan gerakan tanggap flu burung melalui angkutan kota dan terminal di kota dan kabupaten Tangerang. Pencanangan dilakukan di kantor Dinas Perhubungan Kabupaten Tangerang, Serpong.

Drh. Memed Zoelkarnain selaku koordinator bidang komunikasi KOMNAS FBPI membuka dan meresmikan kegiatan ini.

Kesepakatan dan kesepahaman Dinas Perhubungan untuk ikut berperan pada upaya sosialisasi, komunikasi, dan edukasi masyarakat merupakan hal yang baru. Upaya ini merupakan upaya komunikasi, informasi dan edukasi yang baik untuk mencapai sebesar – besarnya masyarakat yang terpapar oleh informasi, karena angkutan kota adalah kebutuhan masyarakat utama di kota dan kabupaten Tangerang.

Tracking Influenza's Every Movement

ScienceDaily (May 19, 2008) — It's the case of the missing flu virus. When the flu isn't making people sick, it seems to just vanish. Yet, every year, everywhere on Earth, it reappears in the appropriate season and starts its attack. So where does it go when it disappears? Does it hibernate, lying dormant in a few people and preparing for its next onslaught? Does it bounce around from the Northern hemisphere to the Southern hemisphere and back, following the seasons?

Neither, it turns out. The virus's breeding grounds are in Asia, a crew of virus-hunters has found, and it then teems out to take over the world anew each year. New varieties almost always evolve in Asia and then hitch a ride with travelers, spreading to Europe, Australia and North America and finally to South America, where they die away.

The work may make the flu vaccine even better than it already is. Because the flu virus is constantly evolving, scientists meet at the World Health Organization twice a year to decide whether to update the vaccine. Their job is made harder because they have to decide on a formulation a year in advance of when the flu will actually hit, to allow time for the vaccine to be manufactured and administered. So they have to predict which of the strains of flu virus are going to be causing the most disease a year down the line.

"In order to try to predict how flu viruses might evolve, we have to understand how they're moving around the world and where they're evolving," says Derek Smith, now of the University of Cambridge and formerly of the Santa Fe Institute, corresponding author of the research. Asia, the study suggests, is the best place to look for up-and-coming strains.

The team traced the virus's steps by studying 13,000 flu samples from around the world. The World Health Organization Global Influenza Surveillance Network collected this data between 2002 and 2007, keeping track of when and where different strains of the virus popped up. They analyzed the shape differences between the proteins each virus uses to bind to human cells, along with the genetic makeup of each virus.

The team used this information to create an "antigenic map" which visually shows the relationships between all the different viruses. This map allowed them to determine the migration patterns of the virus around the world.

"This work is highly multidisciplinary, with epidemiologists, computer scientists, computational biologists, mathematicians, virologists, immunologists, geneticists, veterinarians, and MDs," Smith says.

The work was funded by an NIH Director's Pioneer Award to Smith given for highly innovative research that has the potential for big impacts.

Journal reference:

  1. Russell et al. The Global Circulation of Seasonal Influenza A (H3N2) Viruses. Science 18 April 2008: 340-346 DOI: 10.1126/science.1154137 [link]

Simulasi Penanggulangan Episenter Pandemi Influenza, Bali, 25 – 27 April 2008

  • Dilaksanakan di tiga lokasi utama, yaitu: Kabupaten Jembrana (Desa Dangin Tukadaya, RSUD Negara, dan Kompleks Pemda Kabupaten Jembrana), Kabupaten Tabanan (RSUD Tabanan), Kota Denpasar (Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai dan RSUD Sanglah).
  • Kegiatan ini melibatkan kurang lebih 1000 orang yang mewakili pemerintah dan non-pemerintah, TNI dan POLRI.
  • Dalam simulasi tersebut diujicobakan tujuh dari delapan pilar kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza, yaitu; komando pengendalian, surveilans dan dukungan laboratorium, respons medis dan kesehatan masyarakat, karantina dan pengawasan mobilitas orang dan barang, pembatasan kegiatan sosial, pemulihan dan rehabilitasi, dan komunikasi risiko.
  • Desa Dangin Tukadaya disimulasikan sebagai tempat Episenter Pandemi Influenza yaitu lokasi pertama kali ditemukannya kasus penularan flu burung antar manusia.
  • Tujuan simulasi adalah mempersiapkan masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, LSM, media massa, pegawai swasta dan aparat pemerintah agar bergerak cepat secara bersama-sama untuk memutus mata rantai penyebaran flu yang mematikan.
  • Penanggung jawab Simulasi adalah Dr. I Nyoman Kandun, MPH, Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Sedangkan sebagai Kepala Pusat Komando dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P (K). MARS, Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung Depkes.
  • Kepala Pusat Komando, dibantu 4 deputi yaitu Deputi Lapangan/Desa, Deputi Komunikasi, Deputi Kabupaten dan KKP serta Deputi Tabanan.
  • Kepala Pusat Komando dibantu 3 orang Koordinator yaitu Koordinator Wasdal, Pemantau dan Komentator. Selain itu, bertindak sebagai Ketua Penyelenggara adalah dr. Marwan T. Nusri, MPH, Sekretaris Ditjen P2PL Depkes.
  • Sebagai pengamat baik dari dalam dan luar negeri adalah wakil dari badan internasional (WHO, FAO, UNSIC, USAID, CDC, IRC dan Unicef), tamu negara asing (Kedutaan – kedutaan Besar Seperti: Jepang; Republik Rakyat Cina; dsb), organisasi profesi (Johns Hopkins University; dsb), pejabat pusat (lintas sektor) (Komnas FBPI; Dephub; PMI; dsb), RS Rujukan Flu Burung, UPT Depkes (KKP, BTKL-PPM, dan RS Penyakit Infeksi Dr. Sulianti Saroso) serta Dinas Kesehatan Provinsi.


Sosialisasi Bulan April 2008

Selama bulan April 2008, Komnas FBPI telah melaksanakan sosialisasi antara lain:
  1. Busway koridor II Jakarta.
  2. Kerjasama dengan PKPU Jakarta.
  3. Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
  4. Kerjasama dengan loper koran daerah Kecamatan Kukusan Depok.


Finding a breakthrough on bird flu

Anggota Panel Ahli Komnas FBPI, Dr. IGN Mahardika untuk Jakarta Post, 23 April 2008

The nature of avian influenza A (H5N1) virus -- popularly known as bird flu -- itself brings difficulties in its control. Curbing its infection and spread needs to be well organized and concerted, nation-wide. Like a concert, there must be a single conductor.

The intrinsic nature of the virus makes it difficult to be fully controlled. The vaccine should be adjusted to the most current strains. Antiviral agents might lose their effectiveness quickly.
Moreover, a genetic makeup of that kind leads to a complex virus ecology. Considering evolution, the influenza virus is strictly species related. Avian influenza is limited to avian species only, while swine influenza to pig, equine influenza to horse, and human influenza to people.
As proven, however, the bird flu virus is capable of infecting a variety of species. It has expanded its host range from domesticated birds to wild birds and mammals, such as dogs, cats, pigs and even tigers.


Within this situation, the virus will continue to be disseminated by sick and healthy animals. It does not recognize any boundary. The risk in Aceh might be as high as in Java and Papua. It might happen in Indonesia, China, as well as in the United States. The risk level might differ in one area, depending primarily on animal and people densities. Wild bird and international travelers contribute to the globalization of the bugs.

Nowadays, the control of bird flu in Indonesia is disorganized. There is a conductor in every related ministry. Down to provincial and district level, there are other conductors. In the name of autonomy, every province or district has its own strategy to control the bug.

If we go deeper, the bird flu control does not find fertile ground within the community, private industry and government agencies. A part of the community is still unwilling to report any suspected case. People are afraid to be exposed by the media and their birds could be culled thereafter.
So far, bird flu control initiative can not penetrate giant poultry industries. Top officers in this country have said, on various occasions, the state has no access to major poultry industries, known as sector 1 and 2.

This kind of indifference is also supported by local governments. Officers try hard to keep any suspected case silent. The reasons vary. It might be for community stability, poultry industry existence, or tourism safety issues.

We are dealing with a bug that could infect anyone in the planet, rich or poor. If it would happen, there will be no mantra to stop the industry people, their workers and families from becoming infected. The magic of tourism will also lose its sorcery.

International agencies seem to work without coordination as well. Some projects sound very donor driven. Its sustainability is arguable. Some are carried out without the government and society's willingness to adopt them.

The result, not surprisingly, is disharmony. We understand a lot of things have been done and a bulk of funds have been disbursed for bird flu control. Notwithstanding effort, animal and human cases happen out of control. Outbreaks are continuously reported. The up and down pattern expresses merely that the disease is endemic with very little human intervention.

We should find a concerted action to handle this. It must be a single national task force. The National Committee on Bird Flu and Influenza Pandemic Preparedness (Komnas FBPI) was established to coordinate actions to control bird flu. Unfortunately, ego, funding, and autonomy issues have hampered its action.

To be effective, the Komnas should be led by the president or vice president. The head of executive secretary should be a ministry level. This problem of the strata of officers, known as 'eselon', will be diminished.

Komnas must be a task force that works at all level of activities, including research and surveillance, community awareness, communication, and legal and enforcement. It must work based on the best scientific evidence. All stakeholders, such as research institutes, universities, private industries, non-government organizations, lawmakers and enforcers, mass media, etc, must support the task force. All segments must work accordingly.

Available funding should go to it. International donors should work under the Komnas umbrella.
In this regard, international scientist collaboration is a must. The task force will be a port de'entre for international experts to work hand-in-hand with local counterparts.

Nothing is at stake. Neither the livelihood nor poultry industry is. Neither the tourism industry nor national dignity is. We simply save life.

The writer is a virologist at School of Veterinary Medicine, Udayana University, Denpasar, Bali. He can be reached at
gnmahardika@indosat.net.id.

Indonesia Luncurkan Kesiapsiagaan dan Respon dalam menghadapi Pandemi Influenza

Jakarta, April 18, 2008 – Pemerintah Indonesia meluncurkan Pedoman Nasional Kesiapsiapsiagaan dan Respon dalam Menghadapi Pandemi Influenza (National Pandemic Preparedness and Response Plan/NPPRP) untuk mengantisipasi kejadian terburuk terjadinya penularan flu burung antar manusia.

Peluncuran dokumen NPPRP tersebut diikuti dengan pengumuman rencana pelaksanaan simulasi penanggulangan episenter pandemi influenza pada 25 hingga 27 April 2008 di Bali. Simulasi tersebut ditujukan untuk menguji pelaksanaan dokumen NPPRP.

“Indonesia mengambil langkah proaktif.” kata Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal Bakrie, yang juga menjabat sebagai Ketua Komite National Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (KOMNAS FBPI), yang melalui Peraturan Presiden No. 7 tahun 2006 bertugas membantu peningkatan kesiapsiagaan dan tanggap darurat menghadapi kemungkinan pandemi flu burung sebagai akibat mutasi virus H5N1.

Dokumen NPPRP tersebut disusun KOMNAS FBPI melalui diskusi panjang dengan para pakar kesehatan nasional dan internasional, perwakilan pemerintah, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Merujuk pada data PBB, hanya beberapa negara di dunia yang berhasil menyusun dokumen rencana kesiapsiagaan pandemi dan hanya sebagian kecil saja yang kemudian melakukan pengujian melalui simulasi.

“NPPRP ini merupakan dokumen hidup, dalam arti akan terus disempurnakan dengan berjalannya waktu,” ujar Bayu Krisnamurthi, Ketua Pelaksana Harian KOMNAS FBPI.

Untuk menguji dokumen NPPRP tersebut, pemerintah akan menyelenggarakan Simulasi Penanggulangan Episenter Pandemi Influenza di Bali, 25-27 April 2008.

Skenario kondisi pandemi yang dipakai sebagai acuan dapat dilihat dari tabel dibawah ini:

Tertular secara klinis

66 juta jiwa

(30% x populasi RI)

Perawatan pasien rawat jalan

33 juta

(50% x populasi yang terinfeksi secara klinis)

Dirawat di rumah sakit*)

633.600 jiwa

(1.92% x pasien rawat jalan)

Membutuhkan perawatan di ICU*)

95.040 jiwa

(15% x pasien yang dirawat di RS)

Membutuhkan dukungan Ventilator*)

47.520 jiwa

(50% x pasien yang dirawat di ICU)

Meninggal*)

153.120 jiwa

(0.232% x populasi yang terinfeksi secara klinis)

Skenario tersebut mengacu pada perhitungan tingkat keparahan yang meninggal serupa dengan “Flu Asia atau Flu Hongkong” tahun 1968.

Indonesia akan menjadi salah satu dari negara pertama di dunia yang menguji dokumen perencanaan kesiapsiagaan pandeminya dalam skala besar,” kata Bayu.

Simulasi Penanggulangan Episenter Pandemi Influenza Digelar di Jembrana

Sampai saat ini belum terjadi penularan virus flu burung antar manusia. Namun, untuk mengantisipasi dan mencegah meluasnya penularan apabila terjadi episenter pandemi influenza, pemerintah akan laksanakan Simulasi Penanggulangan Episenter Influenza di Desa Dangin Tukadaya, Kab. Jembrana Bali dari tanggal 25-27 April 2008.

Kegiatan itu akan melibatkan kurang lebih 1000 orang yang mewakili pemerintah dan non-pemerintah, TNI dan POLRI. Dalam simulasi tersebut akan diujicobakan tujuh dari delapan pilar kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza, yaitu; komando pengendalian, surveilans dan dukungan laboratorium, respons medis dan kesehatan masyarakat, karantina dan pengawasan mobilitas orang dan barang, pembatasan kegiatan sosial, pemulihan dan rehabilitasi, dan komunikasi risiko.

Desa Dangin Tukadaya disimulasikan sebagai tempat Episenter Pandemi Influenza yaitu lokasi pertama kali ditemukannya kasus penularan flu burung antar manusia. Lokasi lainnya sebagai tempat simulasi adalah Puskesmas Kec. Jembrana, rumah sakit Negara Kab. Jembrana, RS Tabanan Kab. Tabanan dan RS Sanglah Denpasar (dua rumah sakit ini merupakan rumah sakit rujukan flu burung) di Provinsi Bali, kata Menkes Dr. Siti Fadilah Supari.

Menkes menambahkan, selain Puskesmas dan rumah sakit, Bandara Internasional Ngurah Rai juga digunakan sebagai lokasi simulasi dalam rangka karantina dan pengawasan lalu lintas orang dan barang yang pernah mengunjungi/berasal dari lokasi episenter.

Menurut Menkes, tujuan simulasi adalah mempersiapkan masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, LSM, media massa, pegawai swasta dan aparat pemerintah agar bergerak cepat secara bersama-sama untuk memutus mata rantai penyebaran flu yang mematikan.

Bertindak sebagai penanggung jawab Simulasi adalah Dr. I Nyoman Kandun, MPH, Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Sedangkan sebagai Kepala Pusat Komando dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P (K). MARS, Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung Depkes.

Kepala Pusat Komando, dibantu 4 deputi yaitu Deputi Lapangan/Desa, Deputi Komunikasi, Deputi Kabupaten dan KKP serta Deputi Tabanan. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Pusat Komando dibantu 3 orang Koordinator yaitu Koordinator Wasdal, Pemantau dan Komentator. Selain itu, bertindak sebagai Ketua Penyelenggara adalah dr. Marwan T. Nusri, MPH, Sekretaris Ditjen P2PL Depkes., ujar Menkes.

Pada kegiatan simulasi akan ada pengamat baik dari dalam dan luar negeri. Mereka itu adalah wakil dari badan internasional, tamu negara asing, organisasi profesi, pejabat pusat (lintas sektor), RS Rujukan Flu Burung, UPT Depkes (KKP, BTKL-PPM, dan RS Penyakit Infeksi Dr. Sulianti Saroso) serta Dinas Kesehatan Provinsi, kata dr. Siti Fadilah.

Saat ini virus H5N1 sudah menyebar di Asia, Eropa dan Afrika yaitu : Azerbaijan, Kamboja, China, Djibouti, Mesir, Indonesia, Irak, Laos, Myanmar, Nigeria, Pakistan, Thailand, Turki dan Vietnam dengan angka kematian yang tinggi.

Influenza merupakan virus yang dapat bermutasi dan dapat menular ke manusia. Oleh karena itu virus ini juga mengancam kesehatan manusia dan berpotensi terjadi mutasi atau reasortment sehingga mudah terjadi penularan antar manusia. Karena itu Simulasi ini penting untuk meningkatkan kewaspadaan dan kecepatan bertindak untuk menanggulanginya, papar Menkes.

Flu Burung adalah penyakit mematikan namun dapat dicegah dengan cara yang sederhana, yaitu:

  1. Cuci tangan pakai sabun sebelum dan sesudah makan. Cuci pula dengan sabun, tangan dan peralatan masak sebelum dan setelah memasak serta saat menyajikan masakan. Masak ayam dan telur ayam sampai matang sebelum dikonsumsi.
  2. Jangan sentuh unggas yang sakit atau mati. Jika terlanjur, cepat-cepat cuci tangan pakai sabun. Segeralah melapor pada ketua RT/RW atau kepala desa.
  3. Kandangkan unggas dan pisahkan dari pemukiman. Pisahkan unggas baru dengan ungas lama selama 2 minggu. Bersihkan kandang unggas secara rutin minimal 1 minggu sekali.
  4. Periksakan diri ke dokter, Puskesmas atau rumah sakit jika mengalami gejala flu dan demam, terutama setelah berdekatan dengan unggas. Pengobatan dan penanganan pasien akan efektif jika penderita mendapat perawatan sesegera mungkin, dan tidak lebih dari 2 hari setelah gejala muncul.

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Bidang Komunikasi KOMNAS FBPI

Telp: 021 385 4227

Email: komunikasi.fbpi@gmail.com

Pusat Komunikasi Publik Departemen Kesehatan

Telp: 021 522 3002

Email: puskom.publik@yahoo.com

New Strategies Against Bird Flu

ScienceDaily (Apr. 17, 2008) — Multiple lethal pathogens such as H5N1 avian flu trigger acute lung injury with a high death rate. Scares of an epidemic have led to an increasing interest in understanding the molecular mechanisms that lead to this condition. Scientists have now identified oxidative stress and innate immunity as a common pathway that controls the severity of ARDS.

The Spanish flu outbreak of 1918 killed between 30 and 50 million people. In the infected patients, the ultimate cause of death was acute respiratory distress syndrome (ARDS). This fatal condition is a massive reaction of the body during which the lung becomes severely damaged. ARDS can be induced by various bacterial and viral infections, but also by chemical agents. These could be toxic gases that are inhaled or gastric acid when aspirated. Once ARDS has developed, survival rates drop dramatically. Among patients infected with H5N1 bird flu, about 50 percent die of ARDS.

An international team of scientists has been addressing the underlying disease mechanisms for the past five years. The team involved researchers from leading institutions in Vienna, Stockholm, Cologne, Beijing, Hongkong, and Toronto as well as the US-army at Fort Detrick. The international effort was coordinated by Josef Penninger and Yumiko Imai of the Institute of Molecular Biotechnology (IMBA) of the Austrian Academy of Sciences.

A first breakthrough came in 2005 when IMBA-scientists identified ACE2 as the essential receptor for SARS virus infections and showed that ACE2 can protect from acute lung failure in disease models (Imai et al. Nature 2005; Kuba et al. Nature Medicine 2005). Based on these data, ACE2 is now under therapeutic development.

In a paper recently published by Cell, the authors describe an essential key injury pathway that is operational in multiple lung injuries and directly links oxidative stress to innate immunity. They also report for the first time a common molecular disease pathway explaining how diverse non-infectious and infectious agents such as anthrax, lung plague, SARS, and H5N1 avian influenza may cause severe and often lethal lung failure with similar pathologies.

To identify these pathways, the researchers studied numerous tissue samples from deceased humans and animals. Victims of bird flu and SARS were examined in Hongkong, and the US-army provided samples from animals infected with Anthrax and lung plague. Common to all ARDS samples was the massive amount of oxidation products found within the cells. Based on these findings, the scientists showed that oxidative stress is the common trigger that ultimately leads to lung failure.

To elucidate the entire pathway, Yumiko Imai of IMBA developed several mouse models. She was now able to show that a molecule called TLR4 (Toll-like receptor 4) is responsible for initiating the critical signalling pathway. TLR4 is displayed at the surface of certain lung cells called macrophages, important players of the body's immune system. Once activated, TLR4 initiates an entire chain reaction which ends with the fatal failure of the lungs. Surprisingly, mice challenged with inactivated H5N1 avian influenza virus also dveloped the full reaction. On the other hand, mutant mice in which the function of TLR4 was genetically impaired were protected from lung failure in repsonse to the inactivated virus.

Based on these findings, the researchers can now outline a common molecular disease pathway: Microbial or chemical lung pathogens trigger the oxidative stress machinery. Oxidation products are intrepreted as danger-signals by the receptor TLR4. Subsequently, the body's innate immune system is activated. This defense machinery in turn leads to a chain of reactions with severe and often fatal lung damage as a consequence.

For Yumiko Imai, a Postdoc in Josef Penninger's team and pediatrician by training, these results are highly satisfying. Her motivation to study ARDS is based on personal experience in over 10 years at a pediatric intensive care unit. "I have seen so many children die from acute lung failure and felt utterly helpless", Imai says. "Since we found a common injury pathway, our hopes are high that we may be able to develop a new and innovative strategy for tackling severe lung infections."

The paper "Identification of oxidative stress and Toll like receptor 4 signalling as a key pathway of acute lung injury" by Imai et al. will be published on April 18 in Cell, Vol. 133(2).

Adapted from materials provided by Research Institute of Molecular Pathology, via EurekAlert!, a service of AAAS.