Depkes Gelar Simulasi Pandemi di Makassar


Untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan kemampuan tenaga kesehatan, lintas sektor serta masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya pandemi, dilaksanakan Simulasi Penanggulangan Pandemi episenter Influenza di Kec. Rappocini, Kota Makassar, pada tanggal 25-26 April 2009. Simulasi ini merupakan yang kedua setelah pertama kali dilaksanakan di Desa Danin Tukadaya, Kab. Jembrana, Bali tanggal 25-27 April 2008.


Simulasi ini terselenggara atas kerja sama Depkes dengan Pemprov Sulsel, Pemkot Makassar, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) serta organisasi lainnya. Lokasi simulasi berada di tiga lokasi utama yaitu Kelurahan Kassi-Kassi, rumah sakit rujukan flu burung RS Dr. Wahidin Sudirohusodo, dan pelabuhan laut Soekarno-Hatta.


Simulasi ini melibatkan kurang lebih 600 orang yang mewakili pemerintah dan non-pemerintah, TNI, POLRI, para pemangku kepentingan di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan dan Pusat. Pengamat yang turut berpartisipasi dalam kegiatan ini berjumlah 289 orang dari lembaga nasional dan 50 orang dari lembaga internasional termasuk WHO.


Simulasi ini dilakukan untuk mengujicobakan sembilan pilar kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza yaitu:


1. Komunikasi risiko

- Menyiapkan pusat media

- Mengembangkan pesan media, termasuk press release, radio, TV Spot, dsb

- Simulasi konferensi pers

- Simulasi penyiaran pesan-pesan kunci melalui TV dan radio


2. Surveilans

- Investigasi dan penelusuran kontak dari suspek klaster

- Meringkas, menganalisis, dan melaporkan data lapangan

- Penemuan kasus secara aktif selama episenter (awal pandemi influenza)


3. Antiviral Profilaksis dan vaksin

- Pengarahan kader/sukarelawan sealam episenter

- Distribusi antiviral profilaksis, vaksin dan masker


4. Intervensi non farmasi

- Pertemuan dengan tokoh masyarakat setempat

- Simulasi penutupan sekolah

- Simulasi pelarangan pertemuan publik (seperti institusi keagamaan, pusat masyarakat, tempat olah raga, rekreasi, dsb)

- Bussiness continuity plan


5. Respon medis

- Isolasi/manajemen kasus

- Investigasi dan penelusuran kontak

- Distribusi masker kepada semua staf dan pengunjung rumah sakit

- Distribusi antiviral ke seluruh staf rumah sakit

- Aktivasi rencana kedaruratan

- Triase dan pemisahan pasien (RS dan puskesmas)


6. Logistik

- Pengiriman dari WHO-Bangkok ke bandara Hassanudin, dan distribusi ke area penanggulangan dini

- Pengiriman ke gudang di lokasi episenter

- Distribusi kebutuhan esensial


7. Pengawasan perimeter

- Pengamanan fasilitas Publik, perbatasan dan akses masuk lainnya

- Skrining kesehatan dan manajemen pada checkpoints (seperti memastikan cukup antiviral dan APD di pintu keluar)

- Mengawal pelayanan/persediaan esensial


8. Pengawasan pelabuhan

- Thermal scanning dan skrinign kesehatan untuk penumpang

- Alert card/health declaration distribution

- Pemeriksaan barang bawaan


9. Komando dan kontrol

- Implementasi rencana kontijensi

- Laporan dari RS Kota ke Dinkes Provinsi dan Pusat

- Mengaktifkan dan staffing pusat komando

- Monitoring harian dan pertemuan oleh pusat komando


Komnas FBPI pun turut serta dalam kegiatan ini untuk melakukan pengamatan secara intensif terhadap jalannya seluruh proses kegiatan. Hasil dari pengamatan ini akan digunakan sebagai penyempurnaan pedoman kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza dan menjadi bahan masukan bagi penyelenggaraan simulasi serupa yang akan dilaksanakan.

Sistem Perunggasan Terpadu

Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-Asia Tenggara dan memiliki kekayaan alam berlimpah, tidak hanya pada sektor migas, namun juga sektor non migas. Namun semua itu belum cukup untuk memberikan solusi atas permasalahan yang ada seperti permasalahan yang terdapat pada sektor Agribisnis Perunggasan. Minimnya konsumsi ayam masyarakat Indonesia, merebaknya kasus Avian Influenza (AI) merupakan sedikit dari permasalahan Agribisnis Perunggasan yang ada di Indonesia.

Untuk itu, agar tercipta sistem perunggasan nasional yang lebih kuat, khususnya dalam menghadapi era perdagangan bebas, stakeholder perunggasan nasional harus mampu mewujudkan sistem agribisnis perunggasan yang terpadu. Sistem Agribisnis perunggasan terpadu adalah sebuah sistem yang saling berkait dalam satu rantai (pengawasan) yang dimulai dari good breeding and hachering practice(kualitas DOC), good farming practice (pelaksanaan peternakan yang baik), good veterinary practice (pelaksanaan sistem kesehatan hewan yang baik), good transportation practice (transportasi yang baik), good handling practice (penanganan yang baik), good sloughter practice (pemotongan yang baik), good distribution practice (distribusi yang baik), good manufacturing practice (pengolahan yang baik), good retailing practice (perdagangan yang baik), good catering practice (pengemasan yang baik) hingga good services practice (pelayanan konsumen). Dalam pelaksanaannya, sistem ini sebaiknya dilaksanakan dalam satu instruksi pengawasan (one instruction), kalaupun tidak cukup dalam permodalan,dapat menerapkan sistem kerjasama (corporation) antar beberapa pelaku atau menerapkan sistem kemitraan. Bahkan tidak ada salahnya jika dilakukan oleh satu pelaku. Hal ini untuk memudahkan dalam monitoring dan evaluasi setiap pelaksanaan kegiatan.

Sebenarnya pelaksanaan sistem ini, dibeberapa Negara di dunia telah diterapkan, bahkan pelaksanaannya sudah cukup baik. Hal ini ditandai dengan tingginya tingkat kesadaran masyarakat tentang kemanan pangan (food safety) dan relatif tidak mudahnya pelaku perunggasan mereka yang merugi, kolaps, apalagi gulung tikar. Bahkan dampak badai AI yang melanda di negaranya sekalipun mampu mereka hadapi bersama. Sehingga perunggasan bukan menjadi ‘musuh bersama’ yang ditakuti atau harus dijauhi sebagai sumber penyebab flu burung. Apalagi harus dikeluarkan peraturan tentang larangan memelihara unggas.

Opini tentang sistem perunggasan terpadu ini terdapat dalam website dunia veteriner (http://duniaveteriner.wordpress.com/) yang dikelola oleh Iwan Berri Prima*. Website yang mempunyai tagline “Membangun komunikasi dan informasi tentang kesehatan hewan untuk mengabdi kemanusiaan” ini bertujuan untuk memberi informasi tentang seluk-beluk dunia veteriner kepada masyarakat luas agar masyarakat dapat turut berperan dalam mengamankan, mengembangkan dan memanfaatkannya sebaik mungkin.

*Ketua Umum PB IMAKAHI (Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia), Koordinator Forum Mahasiswa Indonesia Tanggap Flu Burung (FMITFB) Wilayah Jawa Bagian Barat dan Koordinator Sekretariat Forum Kajian Peternakan dan Kesehatan Hewan Nasional (FKPKHN)

Hidup Bersama Flu Burung

Flu burung menjadi epidemi di negeri kaya burung. Indonesia mempunyai 1598 spesies burung--nomor 4 terbesar di dunia setelah Kolumbia, Peru, dan Brazil. Epidemi itu menelan korban jiwa. Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan RI mencatat 112 orang meninggal dunia dari 137 kasus yang terkonfirmasi di Indonesia hingga 25 November 2008.

Sebagian besar korban meninggal berdomisili di propinsi Jawa Barat (33 orang), DKI Jakarta (33 orang), dan Banten (28). Sisanya berdomisili di delapan propinsi lainnya. Anehnya, hampir semua korban meninggal dunia bukan orang yang sehari-hari bekerja di kandang unggas. Bukan pula orang yang bekerja sebagai penyembelih unggas atau pedagang unggas. Namun, justru orang yang sama sekali tidak bersentuhan dengan unggas.

Sebaliknya jutaan orang yang bekerja di usaha peternakan unggas masih tetap sehat wal afiat. Mereka beraktivitas seperti biasa, sudah tidak takut lagi dengan kejadian flu burung. Virus yang pertama kali menyerang unggas pada pertengahan tahun 2003 itu tentu saja juga mengakibatkan puluhan juta ekor unggas terkapar. Kejadiannya hampir merata di seluruh propinsi di Indonesia. Hingga saat ini, kasus flu burung masih belum dapat diatasi dan korban manusia maupun unggas masih ditemukan.

Menuding babi

Yang cukup merisaukan banyak pihak adalah mekanisme penularan virus dari unggas ke manusia belum terungkap secara jelas. Buktinya muncul “keanehan” bahwa korban meninggal dunia bukan orang yang sehari hari bekerja di perunggasan. Ada juga yang mensinyalir bahwa penularan virus dari unggas ke manusia dimediasi oleh babi. Artinya, virus unggas menginfeksi babi, tetapi tidak mengakibatkan kematian.

Virus dari babi kemudian menginfeksi manusia dan mengakibatkan kematian. Akibatnya banyak babi di Tangerang, Propinsi Banten, dibakar dan dimusnahkan. Namun, tidak ada bukti kuat tentang peran babi dalam penularan virus flu burung dari unggas ke manusia. Maka keberadaan babi pun dipertahankan sampai saat ini.

Yang jelas, virus flu burung--khususnya tipe H5N1--dari unggas dapat mengakibatkan manusia meninggal dunia bila terinfeksi. Ayam kampung tak luput dari tudingan sebagai penyebab epidemi itu. Maklum peternak biasanya membiarkan ayam kampung mereka berkeliaran. Oleh karena itu ayam kampung yang banyak dipelihara di pemukiman menjadi momok paling menakutkan bagi sebagian besar masyarakat.

Malahan beberapa kepala daerah menginstruksikan pemusnahan ayam kampung dan ayam lainnya. Ada juga yang membentuk Forum Masyarakat Anti Ayam. Aktivitasnya? Menumpas seluruh ayam di wilayah pemukiman dan sekitarnya. Padahal, selama ini mereka juga mengonsumsi daging ayam. Upaya membumihanguskan ayam kampung semakin menjadi-jadi. Para peternak ayam tentu tak tinggal diam. Mereka menentang keras upaya memberangus ayam kampung.

Para pakar genetika juga angkat bicara. Mereka berteriak tidak setuju terhadap upaya pemusnahan ayam kampung. Keputusan yang salah bila ayam kampung dibersihkan dari bumi Indonesia secara serampangan. Jangan salah, ayam kampung di Indonesia merupakan salah satu nenek moyang ayam di dunia. Itu dibuktikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang bekerjasama dengan International Livestock Research Institute (ILRI).

Kedua lembaga riset itu menganalisis fragmen DNA ayam kampung dari berbagai pelosok Indonesia dan membandingkan dengan fragmen DNA yang sama dari ayam di beberapa negara lainnya. Ayam kampung harus dilestarikan dan dioptimalkan penggunaannya bagi umat manusia. Dengan melakukan penelitian secara lebih intensif, potensi genetiknya dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembentukan ayam modern yang semakin efisien, produktif, dan tahan terhadap penyakit.

Hidup bersama

Kerugian akibat flu burung yang merebak pada pertengahan 2003-2007, mencapai Rp. 4.1 Trilyun. Harap mafhum pada kurun itu banyak ayam musnah atau dimusnahkan, anjloknya permintaan ayam dan produk turunannya, berkurangnya konsumsi ayam di restoran atau di banyak warung kecil lainnya. Belum lagi kerugian dari sektor pariwisata. Itu belum termasuk hilangnya banyak kesempatan kerja akibat penurunan produksi ayam.

Walau kejadian kasus flu burung pada manusia semakin mereda, kita harus tetap waspada. Selain itu kita harus lebih serius mencegah terjadinya kasus flu burung karena penyakit itu mengakibatkan pandemi atau penularan virus dari manusia ke manusia. Dari simulasi yang dilakukan seandainya terjadi pandemi flu burung, diperkirakan terdapat 66 juta orang sakit dan 150.000 orang meninggal dunia.

Kerugian lain bila terjadi pandemi adalah tidak ada kegiatan ekonomi seperti pelayanan jasa bank, pariwisata, dan industri akibat banyak orang sakit dan kekhawatiran orang tertular sakit. Diperkirakan dalam jangka pendek kerugian mencapai Rp 14 Trilyun – Rp 48 Trilyun. Suatu jumlah yang sangat besar dan berefek domino yang sangat membahayakan stabilitas negara.

Kita memang harus siap berdampingan dengan virus flu burung. Karena virus flu burung sudah endemik di Indonesia. Sebenarnya sangat mudah mencegah mewabahnya virus. Kunci utamanya adalah tertib dan disiplin melakukan pola hidup sehat dan bersih di mana pun kita berada. Ingat virus flu burung mudah ditularkan melalui berbagai kontak dengan media pembawa virus.

Dalam perusahaan peternakan unggas, upaya mengamankan kehidupan unggas dari serangan penyakit mutlak dilakukan secara tertib dan konsisten. Ayam kampung yang selama ini diumbar di pekarangan harus dikandangkan di tempat bersih. Intinya adalah melakukan hal sederhana yang terkait dengan kebersihan dan kesehatan hewan yang berujung pada kesehatan manusia.

Zoonosis

Yang perlu diperbaiki antara lain pola pemotongan ayam untuk menyediakan daging konsumsi. Setiap hari, ayam dipotong di tempat pemotongan yang sebagian besar kotor. Bau anyir dan pemandangan menjijikkan menjadi santapan sehari-hari. Di situ pula salah satu penyebaran virus flu burung. Sebagian besar pasar tradisional tempat menjual daging ayam juga kotor.

Daging kemudian diolah dan disajikan di banyak restoran atau dijajakan berkeliling di pemukiman penduduk. Hampir 80% konsumen di Indonesia membeli daging ayam yang diproses di tempat pemotongan yang jauh dari bersih dan sehat. Oleh karena itu, perlu ada gerakan bersih dan kampanye secara terus-menerus untuk mengubah kebiasaan konsumen yang membeli produk ayam seperti itu.

Memang bukan perkara gampang. Namun, dengan adanya kasus flu burung diharapkan upaya itu dapat lebih mudah dilakukan. Bukankah hingga 2008 masih ada kasus flu burung? Permasalahan flu burung di Indonesia memang kompleks sehingga tidak mungkin membasmi virus flu burung secara tuntas. Seandainya tidak ada Komnas FBPI (Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza), bisa jadi kejadian flu burung semakin tidak terkendali.

Sinyalemen itu menjadi benar karena ada kekhawatiran banyak pihak terhadap rencana pembubaran Komnas FBPI pada tahun 2010 mendatang. Yang penting untuk dicatat adalah bahwa penyakit zoonosis (suatu penyakit hewan yang dapat menular ke manusia atau sebaliknya) itu bukan hanya penyakit flu burung. Penyakit baru akan muncul dan penyakit yang dulu ada juga akan muncul kembali (emerging and re-emerging diseases). Ada lebih dari 150 penyakit zoonosis.

Merebaknya penyakit zoonosis yang bisa muncul kapan saja dan dari mana saja menjadi kepedulian komunitas global. Penyakit itu tidak mungkin ditangani oleh para dokter manusia saja atau dokter hewan saja. Perlu pendekatan lintas disiplin ilmu dan pengetahuan yang melibatkan kedua profesi melalui pengembangan sistem “satu kesehatan satu dunia”.

Oleh karena itu, amat sangat disayangkan apabila kejadian flu burung yang memakan banyak korban manusia, hewan, uang, dan energi tidak memberikan makna pembelajaran bagi bangsa Indonesia untuk bertindak lebih baik lagi, berpikir lebih cerdas lagi, berkreativitas lebih inovatif lagi, dan bekerja lebih profesional lagi.

Muladno
Guru Besar Pemuliaan dan Genetika Ternak pada Fakultas Peternakan IPB;
Koordinator Bidang Perencanaan dan Pengembangan KOMNAS FBPI.
Majalah TRUBUS No. 471 edisi Februari 2009.

Komnas FBPI di Pameran Hari Kesehatan Dunia

Keamanan fasilitas kesehatan dan kesiapan petugas kesehatan yang merawat orang-orang yang berada dalam keadaan darurat merupakan fokus dari acara Hari Kesehatan Dunia 2009 yang diadakan di Hotel Gran Melia Jakarta pada hari Selasa (7 April 2009) yang lalu.

Acara ini terdiri dari seminar sehari yang berjudul “Save Lives: Make Hospitals Safe in Emergencies” dan mini exhibition. Seminar tersebut membahas tentang pentingnya menyiapkan sarana pelayanan kesehatan, misalnya rumah sakit, dengan infrastruktur yang baik agar dapat menangani orang-orang yang terkena bencana dengan baik, karena sistem pelayanan kesehatan yang tidak baik akan berdampak buruk pada penanganan korban bencana.

Di sela-sela waktu seminar, peserta dapat melihat mini exhibition yang diikuti oleh organisasi atau institusi yang berkaitan dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana seperti Mercy Corps, UNFPA, RS Thamrin dan Komnas FBPI. Komnas FBPI turut berpartisipasi dalam mini exhibition ini dengan memamerkan bahan-bahan sosialisasi yang dimiliki dan membagikannya kepada peserta acara tersebut serta memberikan penjelasan tentang hasil kegiatan Komnas FBPI yang telah dilakukan.

Avian influenza virus (H5N1): effects of physico-chemical factors on its survival

Sebuah kajian terbaru telah dilakukan untuk menentukan efek fisik dan kimia pada agen HPAI (highly pathogenic Avian Influenza) strain H5N1. Kajian yang berjudul Avian influenza virus (H5N1): effects of physico-chemical factors on its survival dalam Virology Journal 2009 ini memberikan informasi berapa lama, dalam kondisi bagaimana virus H5N1 dapat bertahan hidup di lingkungan, dan cara terbaik untuk membunuh virus tersebut.

Bahkan jika virus ini tidak memiliki kemampuan untuk menimbulkan pandemi, tetap saja berpotensi menimbulkan endemi di lingkungan tersebut. Saat ini, negara-negara yag telah terinfeksi oleh virus tersebut adalah Mesir, Indonesia, Cina, India, Pakistan dan Vietnam, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa suatu hari virus tersebut akan menyebar ke Amerika Serikat, Kanada dan Eropa.

Ancaman ini juga tidak terbatas pada virus H5, namun virus H7 dan H9 juga harus diperhatikan. Selama ini, vaksinasi unggas dianggap menjadi tindakan pencegahan terbaik. Pemusnahan unggas yang terinfeksi dan penyucihamaan lingkungan yang terinfeksi menjadi pilihan metode kontrol.

Peneliti di Pakistan berhasil mengisolasi virus H5N1 selama wabah 2006 dan membiakkannya dalam embrio telur ayam. Mereka kemudian mengambil cairan allanto-amniotic (AAF) yang berisi virus, dan mengujinya dalam berbagai kondisi kimia dan lingkungan untuk melihat berapa lama virus tersebut dapat hidup. Berikut adalah cuplikan hasil penelitiannya:

  1. Virus AI strain H5N1 tetap memiliki kemampuan infeksi pada suhu 4°C selama lebih dari 100 hari, meskipun aktivitas HA-nya menurun.

  2. Virus kehilangan kemampuan infeksinya setelah 24 jam disimpan dalam suhu ruangan (28°C).

  3. Virus menoleransi paparan suhu 56°C selama 15 menit, namun menjadi tidak aktif setelah terpapar selama 30 menit.

  4. sinar ultraviolet tidak memiliki kemampuan untuk menghambat kemampuan berkembang virus, bahkan setelah virus terpapar selama 60 menit.

  5. sampel virus diberi larutan asam (pH<7)>7) untuk menentukan tingkat keasaman atau basa yang dapat membuat virus menjadi tidak aktif. Strain H5N1 mati ketika terpapar dengan kondisi pH 1, 3, 11 dan 13, sementara tetap hidup dalam kondisi pH 7 selama 6, 12, 18 dan 24 jam.

  6. virus H5N1 menjadi tidak aktif dengan formalin (0.2, 0.4, dan 0.6% setelah 15 menit), Yodium kristal (0.4 dan 0.6% setelah 15 menit), Phenol kristal (0.4 dan 0.6% setelah 15 menit).

  7. Lifebuoy, Surf Excel dan soda kaustik menonaktifkan virus pada konsentrasi 0.1, 0.2, dan 0.3% setelah 5 menit kontak, sementara konsentrasi 0.05% tidak cukup untuk membunuh virus.

Walaupun virus ini relatif mudah dinonaktifkan oleh metode penyucihamaan yang umum, namun pada temperatur yang rendah dan di media yang sesuai virus dapat tetap hidup bahkan sampai berbulan-bulan. Sekarang, yang harus menjadi fokus perhatian adalah memperkuat bio-security di peternakan dan tempat penetasan, untuk mencegah terjadinya wabah avian influenza dengan implikasi yang lebih luas.

Jurnal tersebut dapat ditemukan di http://www.virologyj.com/content/6/1/38. Artikelnya dapat didownload di link ini: http://www.virologyj.com/content/pdf/1743-422x-6-38.pdf.


Symposium Internasional: AVIAN INFLUENZA IN INDONESIA CONTROL, PREVENTION AND SURVEILLANCE


Indonesia memiliki laboratorium dengan fasilitas Animal BSL-3 yang terletak di Universitas Airlangga Surabaya. Sayangnya hal ini belum diketahui oleh banyak orang. Ketidaktahuan khalayak, baik di Indonesia maupun di dunia, tentang keberadaan fasilitas ini membuat Indonesia diragukan kemampuannya dalam mengeliminasi penyakit Flu Burung dan penyakit zoonosis lainnya.

Untuk menjawab keraguan tersebut, pada tanggal 19 maret 2009 di Universitas Airlangga Surabaya, diadakan symposium internasional dengan tema "Avian Influenza: Control, Prevention, and Surveillance."

Symposium ini bertujuan untuk membuka sekaligus memperkenalkan fasilitas Animal BSL-3 yang dimiliki oleh Universitas Airlangga. Fasilitas Animal BSL-3 ini memiliki beberapa keunggulan, khususnya fasilitas hewan coba dalam penggunaan hewan monyet sebagai hewan coba, disamping hewan ferret, mencit, maupun unggas.

Symposium ini juga bertujuan menunjukkan kesiapan bangsa Indonesia dalam mengantisipasi penyakit Flu Burung dan penyakit zoonosis lainnya serta mendapatkan masukan dari pakar Flu Burung dan kesehatan dunia dalam melakukan antisipasi terjadinya peningkatan penyakit Flu Burung dan penyakit zoonotik lainnya.

Publikasi Flu Burung Terbaru dari STEPS Centre

Sebagai dokumen yang ditampilkan pada pertemuan internasional “Expert Consultation One World, One Health – From Ideas To Action” yang diadakan di Canada, 16 – 19 Maret 2009 lalu, STEPS Centre mempublikasikan dokumentasi pengalaman penanganan avian influenza oleh negara – negara Asia.


Sejumlah tema pokok yang disorot, termasuk pentingnya pendekatan kesejahteraan mata pencaharian, kesempatan untuk belajar dari potensi lokal; tantangan dalam membangun sistem respon dan geopolitik - dan pentingnya mengambil kebijakan baik lokal maupun internasional terhadap keadaan politik dan pengaruh birokrasi dalam pelaksanaan sistem one world, one health.


Dibawah ini adalah link dari publikasi – publikasi tersebut yang diperoleh dari http://www.steps-centre.org/ourresearch/avianflu.html#country:

Pedoman Pembersihan dan Fasilitas Kendaraan saat Pandemi

HHS (The United States government's principal agency for protecting the health of all Americans and providing essential human services.) baru saja merilis Pedoman Pembersihan dan Fasilitas Kendaraan saat Pandemi (Interim Guidance on Cleaning Transit Vehicles and Facilities during a Pandemic), yang dirancang untuk memberikan industri dan dunia usaha panduan tentang bagaimana cara terbaik dalam melindungi kebersihan kendaraan selama pandemi, dan dengan demikian mengurangi resiko untuk penumpang.

Interim Guidance on Cleaning Transit Vehicles and Facilities during a Pandemic:



Guidelines for individuals who are responsible for shipboard health and safety.

FMITFB Sosialisasi ke 1.153 Warga Depok



Depok, 7 Maret 2009, Komnas FBPI bersama Forum Mahasiswa Indonesia Tanggap Flu Burung (FMITFB) Jawa Bagian Barat melaksanakan sosialisasi langsung dari rumah ke rumah atau door-to-door campaign di RW 8, Desa Rangkapan Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok.

Kegiatan ini merupakan inisiasi dari Kelompok Kerja FMITFB Universitas Indonesia bersama dengan Dinas Pertanian Kota Depok.

Diharapkan melalui kegiatan tersebut dapat memberikan penerangan kepada masyarakat Depok, khususnya warga Pancoran Mas mengenai cara - cara pencegahan flu burung dan perubahan perilaku menuju perilaku hidup bersih dan sehat.

Seminar Interaktif Strategi Melindungi Dunia Usaha dari Dampak Flu Burung dan Pandemi Influenza di Propinsi Banten




Kamis, 5 Maret 2009, Pilot Project Avian Influenza Control and Pandemic Influenza Preparedness Tangerang, menyelenggarakan Seminar Interaktif "Strategi Melindungi Dunia Usaha dari Dampak Flu Burung dan Pandemi Influenza” di Hotel Le Dian, Serang, Banten.

Seminar ini dihadiri perwakilan dari jajaran Pemerintah Propinsi Banten, Pemerintah Kota Cilegon, Kabupaten Serang, Kota Serang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Rangkasbitung, dan Kabupaten Pandeglang serta dari Swasta, perusahaan atau badan usaha se – Propinsi Banten.

Dalam pertemuan ini, dihasilkan kesepakatan perusahaan dalam menghadapi dampak flu burung dan kesiapsiagaan pandemi influenza yang antara lain meyakini permasalahan flu burung dan bahayanya, kemungkinan terjadinya penularan antar manusia sehingga berdampak pada kelumpuhan perusahaan. Disepakati bahwa seluruh peserta akan berperan aktif dalam usaha pencegahan penularan flu burung dan mempersiapkan diri dalam menghadapi pandemi influenza.

Pesta Siaga 2009 Pramuka Tanggap Flu Burung


Tanggal 21 dan 28 Februari 2009 lalu. Para Siaga Pramuka se-Kabupaten dan Kota Bogor berkumpul di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk melaksanakan kegiatan Pesta Siaga Pramuka Tanggap Flu Burung.

Dihadiri oleh Ketua Pelaksana Harian Komnas FBPI, Rektor IPB, dan Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Indonesia, kegiatan ini merupakan kerjasama antara Pramuka IPB dengan CBAIC-USAID serta Komnas FBPI untuk meningkatkan pengetahuan dan kepedulian siswa-siswi sekolah dasar terhadap pesan-pesan pencegahan flu burung untuk kemudian mereka menjadi agen informasi dikeluarga dan lingkungannya.

Strengthening Community-Based Management of Avian and Human Influenza (AHI) in Asia

An International Study Tour focussed on the GTZ Project on ‘Awareness-raising and Life-skills Development for AHI Prevention and Control in -Schools in Indonesia’

Yogyakarta, 18-20 February, Development practitioners from Indonesia, Lao PDR, Myanmar, the Philippines and Thailand visited GTZ’s Bird Flu Awareness in Primary Schools (BAPS) initiative as an innovative approach to strengthen community based management of Avian Influenza in Asia. The school-based bird flu awareness initiative has been developed by the (Deutsche Gesellschaft fuer Technische Zusammenarbeit- GTZ) on behalf of the German Government and is currently in the second pilot phase. It is the only initiative in Asia that explicitly uses a school-based approach to increase awareness and promote prevention to halt the spread of the virus. Community practitioners from several countries were interested to learn more about the school-based awareness programs that can reach out to teachers, pupils, parents and the extended community.

GTZ Indonesia hosted a three-day international Study Tour, organized by the AHI-NGO-RC/RC-Asia Partnership, involving participants from CBOs, NGOs and Red Cross/Red Crescent societies working in community-based AHI management in their respective countries of Indonesia, Lao PDR, Myanmar, the Philippines and Thailand. The study tour is part of the project on ‘Strengthening Community-Based Approaches to Management of AHI in Asia’ being implemented by the AHI-NGO-RC/RC-Asia Partnership – comprised of the Asian Disaster Preparedness Center (ADPC), CARE, the International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC) and the International Rescue Committee (IRC) – and is funded by the Canadian Government via the Asian Development Bank (ADB).

The three-day event was officially opened by the Director for Kindergarten and Primary Schools Development of the Ministry of National Education and the Head of Provincial Education Administration in Yogyakarta. Key note speeches were delivered by the Indonesian National Committee for Avian Influenza Control and Pandemic Influenza Preparedness, the Regional Working Group III of the National Committee in Yogyakarta as well as GTZ Task Force for Avian Influenza and GTZ BAPS.

Mr. Mudjito, the Director for Kindergarten and Primary Schools Development, lauded BAPS: “Targeting the school community, especially primary school children can lead to effective behavior change – which is one of the main challenges of most information campaigns. Another important aspect of targeting children is the high vulnerability of children to bird flu, both in Indonesia and worldwide.” One of the most outstanding features of the BAPS approach is that it entails a very comprehensive array of products, including a sound training system for teachers to achieve behaviour change by integrating key messages into the existing curriculum.

The “Bird Flu Awareness in Primary Schools” package consists of teacher trainings, teaching aids, accompanying school booklets for children and information material for the school administration and parents as well as parent information sessions. This broad range of tools allows reaching out to teachers, pupils and their families and the surrounding community at large. Primary school teachers are trained to integrate information on the prevention and control of bird flu into the existing curricula. In the first phase of the program teachers were directly trained using four core training modules on Avian Influenza and personal and community prevention and control measures and accompanying modules focusing on the teaching techniques and curricula integration. In the second pilot phase an approach to increase coverage is being tested by applying a cascade approach and training advisory teachers that are responsible for trainings in already established teacher working groups – thus being able to multiply the number of those being trained effectively. This approach is currently being further developed and used for teacher training centres in the course of the next months.

There has been considerable success since the since December 2007: More than 2 thousand teachers were trained in seven provinces which means that approximately 50 thousand primary school children have learnt about prevention of bird flu in school. More than 95 thousand parents have received written information that highlights the importance of raising awareness preventing their children and families about bird flu.  

During presentations and subsequent field trips to three schools in the Yogyakarta area study tour participants were provided with the experiences of and lessons identified by GTZ Indonesia in school-based awareness-raising and life-skills development in Indonesia; and an understanding of the issues and priorities in working with school children in the context of AHI management in Asia. The study tour participants on the other hand brought in experiences and good practices from their respective countries.

One critical component of the study tour was the focus group discussions, involving parents, teachers and students at two schools under the BAPS Project, where various issues were surrounding risk prevention were explored. The study tour participants exchanged their views possible socio-cultural factors that might influence the ways that AHI risks are perceived/understood in their communities, economic and social factors that might act as barriers to behavior change and risk reduction, and last but not least factors that might make projects for promoting awareness/risk reduction more successful and sustainable.

Ultimately, the GTZ-ADPC Study Tour in Indonesia was praised as quite successful in promoting an understanding of: 
• successes and challenges of different approaches to behavior change and life-skills development
• key lessons for community-based AHI management, that can be shared with other organizations and practitioners throughout Asia.

The event last week highlighted the importance of cross-country exchange of lessons learnt and good practices. Difficulties in reaching communities as well as the importance of achieving behavior change when developing programs on risk communication and prevention were discussed.

The Study Tour especially highlighted the importance of children as the most receptive group when aiming for behavior change. 

For further information, please contact:
Johanna Knoess on behalf of GTZ or Tel: +62 (0) 21 579 00 334
Email: j_knoess@yahoo.com or Endang Setiawidi: endang.setiawidi@gtz.de 
Janette Lauza-Ugsang on behalf of ADPC Tel: +66 (0) 2 298 0681 to 92 Ext 404  
Email: janette@adpc.net

Energizer Indonesia Tanggap Flu Burung

Pojok Avian (Avian Corner)

Contoh materi KIE yang dibuat

Sejak tahun 2008 sampai sekarang, PT. Energizer Indonesia mengembangkan program komunikasi, informasi dan edukasi pemberdayaan staf dan masyarakat perusahaan. Inisiatif ini didukung oleh Komnas FBPI melalui pemberian bahan sosialisasi pesan - pesan pencegahan flu burung dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi indluenza.

Berikut ini adalah program - program yang telah dan sedang dilaksanakan oleh Energizer Indonesia dalam rangka meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk pencegahan flu burung dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza:
  • Meeting routine avian team every month,
  • Develop IEC Material,
  • Avian Corner,
  • Hand wash campaign,
  • Sharing with community & campaign,
  • Avian corner update (contents & information),
  • Health education through movies at canteen, etc.

Meningkatkan kesadaran masyakat dalam menindaklanjuti suatu kejadian flu burung sehingga kecepatan dan ketepatan penanganan kasus adalah kunci penting dalam pengendalian flu burung. Dalam hal ini masyarakat yang dimaksud termasuk pemerintah dan jajarannya, serta seluruh pihak dari swasta dan internasional.

Peran kita semua, memastikan keberhasilan Indonesia dalam mengendalikan keganasan penyakit flu burung.

Hasil Penelitian Mengenai Pandemi 1918 (Klik link dibawah ini untuk lengkapnya)

Shades of 1918? New study compares avian flu with a notorious killer from the past


In the waning months of the First World War, a lethal virus known as the Spanish flu (influenza A, subtype H1N1), swept the United States, Europe and Asia in three convulsive waves. The year was 1918. The ensuing pandemic claimed up to 100 million victims, most of whom succumbed to severe respiratory complications associated with rapidly progressing pneumonia. Many died within days of the first symptoms.

Lokakarya Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza, Mataram, Januari 2009



Lokakarya dalam rangka simulasi respon menghadapi pandemi influenza di adakan pertama kali di Hotel Jayakarta Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB. Lokakarya ini dihadiri perwakilan lembaga pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan swasta yang berasal dari 3 (tiga) propinsi yaitu Bali, NTB, NTT.

Lokakarya ini dibuka oleh Sekretaris Daerah Propinsi NTB dan dihadiri oleh Deputi Menko Perekonomian selaku Kalakhar KOMNAS FBPI, Deputi Menkokesra, dan ketua Field Office Unicef Jawa Timur - NTB. Penyelenggaraan lokakarya ini diharapkan sebagai implementasi kerjasama kawasan tenggara yang telah ditandatangani oleh 3 Gubernur NTT, NTB, Bali pada tanggal 20 Desember 2008 di NTT.

Kegiatan-kegiatan dalam Lokakarya yang dilaksanakan selama 3 (hari) mulai tanggal 27-29 Januari 2009 ini adalah paparan tentang pengenalan pandemi influenza, pelaksanaan desktop simulation, diskusi kelompok dan presentasi kelompok. Diskusi dikelompokan berdasarkan 4 (empat) sektor antara lain sektor keamanan dan pertahanan, sektor pariwisata, transportasi dan telekomunikasi, sektor pendidikan, perempuan, anak, dan agama, serta sektor instalasi vital (pelayanan dasar yang menyangkut hajat hidup orang banyak).

Diskusi yang dikembangkan adalah berdasarkan skenario fase 6 pandemi influenza. Dari hasil diskusi disimpulkan aktivitas menjadi 3 (tiga) poin utama yaitu bagaimana menjalankan lembaga di saat pandemi influenza khususnya dengan asumsi pegawai tidak masuk hingga 40%, bagaimana membatasi mobilitas orang dan barang, dan bagaimana membatasi kegiatan sosial yaitu tempat bertemunya orang dalam jumlah besar.

Pandeglang Tanggap Flu Burung



Dalam rangka sosialisasi bahaya flu burung dan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat untuk bersama - sama menjaga kebersihan lingkungannya, September lalu, Komnas FBPI bersama Unicef Indonesia menyelenggarakan acara Gema Zikir Sosialisasi Avian Influenza di Pandeglang, Banten.

Melalui pertunjukan seni dan drama diharapkan pesan-pesan pencegahan terhadap Flu Burung dapat dipahami dan disosialisasikan oleh para santri. Komitmen masyarakat Banten dalam mendukung upaya pemerintah sangat baik. Hal ini terbukti dengan pemimpin ulama setempat menyusun rekomendasi dewan ulama daerah Pandeglang untuk hidup sehat sebagai salah satu pengamalan terhadap ajaran Al-quran.

“Kita diajarkan tentang flu burung di kelas pelajaran Biologi kami—Apa itu flu Burung, bagaimana pencegahannya. Ketika Saya kembali ke rumah, Saya akan menjelaskan kepada keluarga Saya akan berbahayanya Flu Burung, dan karena itu kita harus berperan serta,” jelas Nita Oktaviani, 15 tahun, Santriwati Pondok pesantren Darul Falah.

Simulasi Pandemi Inluenza POLRI


30 Desember 2008, Komnas FBPI bekerja sama dengan Pusat Kedokteran dan Kesehatan Kepolisian Republik Indonesia (Pusdokkes POLRI) menyelenggarakan kegiatan simulasi respon medik penanggulangan episenter pandemi influenza pada rumah sakit non rujukan diadakan di asrama KORPS BRIMOB RT 001/015 Desa Pasir Gunung Selatan Cimanggis Depok.

Kegiatan ini diikuti oleh sekitar 300 personil POLRI yang berasal dari berbagai divisi dengan melibatkan dinas kesehatan, dinas peternakan, rumah sakit, dan masyarakat setempat. Simulasi ini dilakukan berdasarkan skenario. Diawali dengan pertemuan aparat terkait, yang menyatakan bahwa telah terjadi penularan kasus antar manusia di wilayahnya. Selanjutnya Tim Gerak Cepat (TGC) yang terdiri dari dinas kesehatan dan dinas peternakan bergerak menuju wilayah kasus untuk melakukan tugasnya sesuai prosedur penangangan episenter.

Dalam simulasi ini ditekankan peran POLRI sebagai pelindung masyarakat dalam menghadapi pandemi influenza. Kesiapan POLRI sebagai garda terdepan pengaman dan pelindung masyarakat sangat dibutuhkan ketika pandemi influenza terjadi.