Avian influenza virus (H5N1): effects of physico-chemical factors on its survival

Sebuah kajian terbaru telah dilakukan untuk menentukan efek fisik dan kimia pada agen HPAI (highly pathogenic Avian Influenza) strain H5N1. Kajian yang berjudul Avian influenza virus (H5N1): effects of physico-chemical factors on its survival dalam Virology Journal 2009 ini memberikan informasi berapa lama, dalam kondisi bagaimana virus H5N1 dapat bertahan hidup di lingkungan, dan cara terbaik untuk membunuh virus tersebut.

Bahkan jika virus ini tidak memiliki kemampuan untuk menimbulkan pandemi, tetap saja berpotensi menimbulkan endemi di lingkungan tersebut. Saat ini, negara-negara yag telah terinfeksi oleh virus tersebut adalah Mesir, Indonesia, Cina, India, Pakistan dan Vietnam, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa suatu hari virus tersebut akan menyebar ke Amerika Serikat, Kanada dan Eropa.

Ancaman ini juga tidak terbatas pada virus H5, namun virus H7 dan H9 juga harus diperhatikan. Selama ini, vaksinasi unggas dianggap menjadi tindakan pencegahan terbaik. Pemusnahan unggas yang terinfeksi dan penyucihamaan lingkungan yang terinfeksi menjadi pilihan metode kontrol.

Peneliti di Pakistan berhasil mengisolasi virus H5N1 selama wabah 2006 dan membiakkannya dalam embrio telur ayam. Mereka kemudian mengambil cairan allanto-amniotic (AAF) yang berisi virus, dan mengujinya dalam berbagai kondisi kimia dan lingkungan untuk melihat berapa lama virus tersebut dapat hidup. Berikut adalah cuplikan hasil penelitiannya:

  1. Virus AI strain H5N1 tetap memiliki kemampuan infeksi pada suhu 4°C selama lebih dari 100 hari, meskipun aktivitas HA-nya menurun.

  2. Virus kehilangan kemampuan infeksinya setelah 24 jam disimpan dalam suhu ruangan (28°C).

  3. Virus menoleransi paparan suhu 56°C selama 15 menit, namun menjadi tidak aktif setelah terpapar selama 30 menit.

  4. sinar ultraviolet tidak memiliki kemampuan untuk menghambat kemampuan berkembang virus, bahkan setelah virus terpapar selama 60 menit.

  5. sampel virus diberi larutan asam (pH<7)>7) untuk menentukan tingkat keasaman atau basa yang dapat membuat virus menjadi tidak aktif. Strain H5N1 mati ketika terpapar dengan kondisi pH 1, 3, 11 dan 13, sementara tetap hidup dalam kondisi pH 7 selama 6, 12, 18 dan 24 jam.

  6. virus H5N1 menjadi tidak aktif dengan formalin (0.2, 0.4, dan 0.6% setelah 15 menit), Yodium kristal (0.4 dan 0.6% setelah 15 menit), Phenol kristal (0.4 dan 0.6% setelah 15 menit).

  7. Lifebuoy, Surf Excel dan soda kaustik menonaktifkan virus pada konsentrasi 0.1, 0.2, dan 0.3% setelah 5 menit kontak, sementara konsentrasi 0.05% tidak cukup untuk membunuh virus.

Walaupun virus ini relatif mudah dinonaktifkan oleh metode penyucihamaan yang umum, namun pada temperatur yang rendah dan di media yang sesuai virus dapat tetap hidup bahkan sampai berbulan-bulan. Sekarang, yang harus menjadi fokus perhatian adalah memperkuat bio-security di peternakan dan tempat penetasan, untuk mencegah terjadinya wabah avian influenza dengan implikasi yang lebih luas.

Jurnal tersebut dapat ditemukan di http://www.virologyj.com/content/6/1/38. Artikelnya dapat didownload di link ini: http://www.virologyj.com/content/pdf/1743-422x-6-38.pdf.


Symposium Internasional: AVIAN INFLUENZA IN INDONESIA CONTROL, PREVENTION AND SURVEILLANCE


Indonesia memiliki laboratorium dengan fasilitas Animal BSL-3 yang terletak di Universitas Airlangga Surabaya. Sayangnya hal ini belum diketahui oleh banyak orang. Ketidaktahuan khalayak, baik di Indonesia maupun di dunia, tentang keberadaan fasilitas ini membuat Indonesia diragukan kemampuannya dalam mengeliminasi penyakit Flu Burung dan penyakit zoonosis lainnya.

Untuk menjawab keraguan tersebut, pada tanggal 19 maret 2009 di Universitas Airlangga Surabaya, diadakan symposium internasional dengan tema "Avian Influenza: Control, Prevention, and Surveillance."

Symposium ini bertujuan untuk membuka sekaligus memperkenalkan fasilitas Animal BSL-3 yang dimiliki oleh Universitas Airlangga. Fasilitas Animal BSL-3 ini memiliki beberapa keunggulan, khususnya fasilitas hewan coba dalam penggunaan hewan monyet sebagai hewan coba, disamping hewan ferret, mencit, maupun unggas.

Symposium ini juga bertujuan menunjukkan kesiapan bangsa Indonesia dalam mengantisipasi penyakit Flu Burung dan penyakit zoonosis lainnya serta mendapatkan masukan dari pakar Flu Burung dan kesehatan dunia dalam melakukan antisipasi terjadinya peningkatan penyakit Flu Burung dan penyakit zoonotik lainnya.

Publikasi Flu Burung Terbaru dari STEPS Centre

Sebagai dokumen yang ditampilkan pada pertemuan internasional “Expert Consultation One World, One Health – From Ideas To Action” yang diadakan di Canada, 16 – 19 Maret 2009 lalu, STEPS Centre mempublikasikan dokumentasi pengalaman penanganan avian influenza oleh negara – negara Asia.


Sejumlah tema pokok yang disorot, termasuk pentingnya pendekatan kesejahteraan mata pencaharian, kesempatan untuk belajar dari potensi lokal; tantangan dalam membangun sistem respon dan geopolitik - dan pentingnya mengambil kebijakan baik lokal maupun internasional terhadap keadaan politik dan pengaruh birokrasi dalam pelaksanaan sistem one world, one health.


Dibawah ini adalah link dari publikasi – publikasi tersebut yang diperoleh dari http://www.steps-centre.org/ourresearch/avianflu.html#country: