Flu burung menjadi epidemi di negeri kaya burung. Indonesia mempunyai 1598 spesies burung--nomor 4 terbesar di dunia setelah Kolumbia, Peru, dan Brazil. Epidemi itu menelan korban jiwa. Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan RI mencatat 112 orang meninggal dunia dari 137 kasus yang terkonfirmasi di Indonesia hingga 25 November 2008.
Sebagian besar korban meninggal berdomisili di propinsi Jawa Barat (33 orang), DKI Jakarta (33 orang), dan Banten (28). Sisanya berdomisili di delapan propinsi lainnya. Anehnya, hampir semua korban meninggal dunia bukan orang yang sehari-hari bekerja di kandang unggas. Bukan pula orang yang bekerja sebagai penyembelih unggas atau pedagang unggas. Namun, justru orang yang sama sekali tidak bersentuhan dengan unggas.
Sebaliknya jutaan orang yang bekerja di usaha peternakan unggas masih tetap sehat wal afiat. Mereka beraktivitas seperti biasa, sudah tidak takut lagi dengan kejadian flu burung. Virus yang pertama kali menyerang unggas pada pertengahan tahun 2003 itu tentu saja juga mengakibatkan puluhan juta ekor unggas terkapar. Kejadiannya hampir merata di seluruh propinsi di Indonesia. Hingga saat ini, kasus flu burung masih belum dapat diatasi dan korban manusia maupun unggas masih ditemukan.
Menuding babi
Yang cukup merisaukan banyak pihak adalah mekanisme penularan virus dari unggas ke manusia belum terungkap secara jelas. Buktinya muncul “keanehan” bahwa korban meninggal dunia bukan orang yang sehari hari bekerja di perunggasan. Ada juga yang mensinyalir bahwa penularan virus dari unggas ke manusia dimediasi oleh babi. Artinya, virus unggas menginfeksi babi, tetapi tidak mengakibatkan kematian.
Virus dari babi kemudian menginfeksi manusia dan mengakibatkan kematian. Akibatnya banyak babi di Tangerang, Propinsi Banten, dibakar dan dimusnahkan. Namun, tidak ada bukti kuat tentang peran babi dalam penularan virus flu burung dari unggas ke manusia. Maka keberadaan babi pun dipertahankan sampai saat ini.
Yang jelas, virus flu burung--khususnya tipe H5N1--dari unggas dapat mengakibatkan manusia meninggal dunia bila terinfeksi. Ayam kampung tak luput dari tudingan sebagai penyebab epidemi itu. Maklum peternak biasanya membiarkan ayam kampung mereka berkeliaran. Oleh karena itu ayam kampung yang banyak dipelihara di pemukiman menjadi momok paling menakutkan bagi sebagian besar masyarakat.
Malahan beberapa kepala daerah menginstruksikan pemusnahan ayam kampung dan ayam lainnya. Ada juga yang membentuk Forum Masyarakat Anti Ayam. Aktivitasnya? Menumpas seluruh ayam di wilayah pemukiman dan sekitarnya. Padahal, selama ini mereka juga mengonsumsi daging ayam. Upaya membumihanguskan ayam kampung semakin menjadi-jadi. Para peternak ayam tentu tak tinggal diam. Mereka menentang keras upaya memberangus ayam kampung.
Para pakar genetika juga angkat bicara. Mereka berteriak tidak setuju terhadap upaya pemusnahan ayam kampung. Keputusan yang salah bila ayam kampung dibersihkan dari bumi Indonesia secara serampangan. Jangan salah, ayam kampung di Indonesia merupakan salah satu nenek moyang ayam di dunia. Itu dibuktikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang bekerjasama dengan International Livestock Research Institute (ILRI).
Kedua lembaga riset itu menganalisis fragmen DNA ayam kampung dari berbagai pelosok Indonesia dan membandingkan dengan fragmen DNA yang sama dari ayam di beberapa negara lainnya. Ayam kampung harus dilestarikan dan dioptimalkan penggunaannya bagi umat manusia. Dengan melakukan penelitian secara lebih intensif, potensi genetiknya dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembentukan ayam modern yang semakin efisien, produktif, dan tahan terhadap penyakit.
Hidup bersama
Kerugian akibat flu burung yang merebak pada pertengahan 2003-2007, mencapai Rp. 4.1 Trilyun. Harap mafhum pada kurun itu banyak ayam musnah atau dimusnahkan, anjloknya permintaan ayam dan produk turunannya, berkurangnya konsumsi ayam di restoran atau di banyak warung kecil lainnya. Belum lagi kerugian dari sektor pariwisata. Itu belum termasuk hilangnya banyak kesempatan kerja akibat penurunan produksi ayam.
Walau kejadian kasus flu burung pada manusia semakin mereda, kita harus tetap waspada. Selain itu kita harus lebih serius mencegah terjadinya kasus flu burung karena penyakit itu mengakibatkan pandemi atau penularan virus dari manusia ke manusia. Dari simulasi yang dilakukan seandainya terjadi pandemi flu burung, diperkirakan terdapat 66 juta orang sakit dan 150.000 orang meninggal dunia.
Kerugian lain bila terjadi pandemi adalah tidak ada kegiatan ekonomi seperti pelayanan jasa bank, pariwisata, dan industri akibat banyak orang sakit dan kekhawatiran orang tertular sakit. Diperkirakan dalam jangka pendek kerugian mencapai Rp 14 Trilyun – Rp 48 Trilyun. Suatu jumlah yang sangat besar dan berefek domino yang sangat membahayakan stabilitas negara.
Kita memang harus siap berdampingan dengan virus flu burung. Karena virus flu burung sudah endemik di Indonesia. Sebenarnya sangat mudah mencegah mewabahnya virus. Kunci utamanya adalah tertib dan disiplin melakukan pola hidup sehat dan bersih di mana pun kita berada. Ingat virus flu burung mudah ditularkan melalui berbagai kontak dengan media pembawa virus.
Dalam perusahaan peternakan unggas, upaya mengamankan kehidupan unggas dari serangan penyakit mutlak dilakukan secara tertib dan konsisten. Ayam kampung yang selama ini diumbar di pekarangan harus dikandangkan di tempat bersih. Intinya adalah melakukan hal sederhana yang terkait dengan kebersihan dan kesehatan hewan yang berujung pada kesehatan manusia.
Zoonosis
Yang perlu diperbaiki antara lain pola pemotongan ayam untuk menyediakan daging konsumsi. Setiap hari, ayam dipotong di tempat pemotongan yang sebagian besar kotor. Bau anyir dan pemandangan menjijikkan menjadi santapan sehari-hari. Di situ pula salah satu penyebaran virus flu burung. Sebagian besar pasar tradisional tempat menjual daging ayam juga kotor.
Daging kemudian diolah dan disajikan di banyak restoran atau dijajakan berkeliling di pemukiman penduduk. Hampir 80% konsumen di Indonesia membeli daging ayam yang diproses di tempat pemotongan yang jauh dari bersih dan sehat. Oleh karena itu, perlu ada gerakan bersih dan kampanye secara terus-menerus untuk mengubah kebiasaan konsumen yang membeli produk ayam seperti itu.
Memang bukan perkara gampang. Namun, dengan adanya kasus flu burung diharapkan upaya itu dapat lebih mudah dilakukan. Bukankah hingga 2008 masih ada kasus flu burung? Permasalahan flu burung di Indonesia memang kompleks sehingga tidak mungkin membasmi virus flu burung secara tuntas. Seandainya tidak ada Komnas FBPI (Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza), bisa jadi kejadian flu burung semakin tidak terkendali.
Sinyalemen itu menjadi benar karena ada kekhawatiran banyak pihak terhadap rencana pembubaran Komnas FBPI pada tahun 2010 mendatang. Yang penting untuk dicatat adalah bahwa penyakit zoonosis (suatu penyakit hewan yang dapat menular ke manusia atau sebaliknya) itu bukan hanya penyakit flu burung. Penyakit baru akan muncul dan penyakit yang dulu ada juga akan muncul kembali (emerging and re-emerging diseases). Ada lebih dari 150 penyakit zoonosis.
Merebaknya penyakit zoonosis yang bisa muncul kapan saja dan dari mana saja menjadi kepedulian komunitas global. Penyakit itu tidak mungkin ditangani oleh para dokter manusia saja atau dokter hewan saja. Perlu pendekatan lintas disiplin ilmu dan pengetahuan yang melibatkan kedua profesi melalui pengembangan sistem “satu kesehatan satu dunia”.
Oleh karena itu, amat sangat disayangkan apabila kejadian flu burung yang memakan banyak korban manusia, hewan, uang, dan energi tidak memberikan makna pembelajaran bagi bangsa Indonesia untuk bertindak lebih baik lagi, berpikir lebih cerdas lagi, berkreativitas lebih inovatif lagi, dan bekerja lebih profesional lagi.
Muladno
Guru Besar Pemuliaan dan Genetika Ternak pada Fakultas Peternakan IPB;
Koordinator Bidang Perencanaan dan Pengembangan KOMNAS FBPI.
Majalah TRUBUS No. 471 edisi Februari 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar